Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Semalam saya hadir dalam acara ulang tahun ke 74 Bang Akbar Tanjung di Museum perumusan naskah Proklamas di Menteng, Jakarta. Saya duduk di belakanda mantan anggota BPK, Baharuddin Aritonang mantan angoota BPK. Dia saat sibuk memperhatikan band yang tengah melantunkan lagu-lagu Batak.
Dan memang berbagai lagu daerah Tapanuli hingga lagu keroncong seperti Sepasang Mata Bola malam itu ramai mengalun. Ibu Nina dan Bang Akbar pun beberapa kali naik ke atas panggung. Saya yang saat itu mencari abangda senior yang mantan sfat ahli wapres Hamzah Haz dan staf mendiang perdana Menteri Moh Natsir, ternyata ujungnya tak berhasil ditemukan. Abang Lukman seperti menghilang ditelan bumi. Di situ saya hanya ketemu sahabat lama saya DR Alfan Alfian yang memang ngurusi yayasannya Bang Akbar.
Keterangan foto: Suasana keramaian Ultah Akbar Tanjung ke 74 di halaman belakang Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi, di Menteng, Jakarta. Terlihat Akbar Tanjung dan Airlangga Hartarto tengah menyanyikan lagu Oh Tanah Batak.
Pada malam itu memang banyak sekali elit yang hadir. Ada politisi sekaligus aktivis legendaris Abdul Gafur, hingga orang dekat presiden semacam Mas DR Arif Budimanta. Tampak sekali hampir semua anak HMI kumpul di sana. Ekpresinya kala itu beragam: Ada yang tengah senang terpilih lagi menjadi anggota DPR, ada yang galau karena tidak terpilih.
''Kalau pengin kepilih lagi hah harus menyediakan uang lebih dari 10 milyar? Harus bagi amplohp hingga 250 buah? Saya memilih tidak! Kini saya tahu rakyat di dapil saya meski sudah lima tahun sudah begitu mendapat perhatian dengan berbagai bantuan program, teryata tetap enggan milih lagi. Kalah dengan uang. Segala upaya yang telah dilakukan secara kontinyu itu gagal total. Habis ludes melalui hujan sehari, yakni berupa guyuran amplop di ujung masa kampanye atau jelang coblosan,'' kata seorang politisi perempuan yang sangat terkenal.
Dalam soal 'banalnya' perilaku pemilih dan pelaksaan Pemilu 2019, dia pun mengaku bila sudah berbincang dengan berbagai cendikiwan dan elit untuk mengatasinya. Mereka sepakat kualitas pemilu Indonesia sampai kini memang belum beranjak jauh.
''Apa perlu pemilihan tidak kayak model dulu ya? Apa perlu juga kita pilihan model pemilu coblos langsung ini,'' katanya.
Saya yang duduk disebelahnya hanya terdiam memperhatikan omongannya. Saya balik bertanya: “Wajar kok Mbak, bukankah hidup masyarakat kini sulit? Mendapat sogokan uang menjelang pencoblosan yang beberpa puluh ribu itu bagi mereka berharga sekali kan? Mbak tahu sendirilah.'' tukas saya.
Dia diam termangu sejenak. Beberapa orang 'senior' datang mengampirinya.Keduanya bersalaman akrab sebab sudah sama lama mereka berteman akrab. Setelah itu dia melanjutkan perbincangan.
''Ya memang kabar buruk itu sih. Namun pada sisi lain, kondisi ekonomi negara kini sebenarnya memang sulit. Pertumbuhan hanya 4,5 persen. Tahun depan besar kenaikannya diperkirakan hanya 'dikerek' dan hanya akan terjadi di sekitar masa Lebaran,’’ katanya melanjutkan omongan.
“Dan kalau tumbuh hanya sebesar 4,5 persen maka berarti tak ada pertumbuhan ekonomi sebenarnya. Sebab, pertumbuhan negara sebesar ini hanya diakibatkan pertumbuhan akibat naiknya konsumsi karena pertambahan penduduk. Lihat penerimaan pajak turun, Gaji PNS dibayar pakai utang. Uang masuk yang cukup besar hanya berasal dari remitensi para TKI yang tinggal di luar negeri,'' ujarnya.
Mendengar kabar buruk itu saya mengehela napas tanpa komentar. Di kursi depan Abangda Baharudin Aritonang yang duduk bersama Akbar Tanjung dan Airlangga Hartarto (ketua Umum partai Golkar) kini berteriak agar band segera menyanyikan lagu 'O Tanah Batak'.
''Ayo yang mengaku sebagai anak medan naik ke panggung.'' teriaknya. Penyanyi senior yang dahulu menjadi ikon lomba nyanyi Bintang Radio di RRI, Tety Manurung, ikut memberi semangat: Ayo ayo ibu-bapak yang mengaku anak Medan naik,'' teriaknya.
Maka Akbar Tanjung, Airlangga Hartato yang bukan anak medan, pun naik ke panggung. Para tetamu lainnya pun ikutan naik. Maka melantulah lagu 'O Tanah Batak' hingga Sepasang Mata Bola, dan diakhiri bersama dengan lagu 'Rayuan Pulau Kelapa'.
''Saya sebenarnya ketika menyanyi lagu O Tanah Batak dan lagu dari Tapanuli lainnya tadi sempat deg degan. Kenapa? Karena pemain band saya adalah orang Jawa yang tak terbiasa mendengar lagu itu. Mereka terlihat sedikit gelagapan. Untung kemudian bisa segera mengalir lancar mengiringi para tamu yang hadir,'' ujar Tety Manurung.
Sementara ketika para tetamu nyanyi, saya yang duduk di meja samping kanan, hanya tampil sebagai tukang sorak saja. Dan saya terkejut ketika Abangda Aritonang kemudian berteriak agar saya tak usah nyanyi.’’Barkah cocoknya ngaji saja. Tak usah nyanyi ha ha,'' katanya.
Mendengar itu saya yang tengah ngobrol dengan politisi perempuan top sembari makan daging kambing dan nasi kebuli, tertawa ngakak. Abangda Baharudin Aritonang tetap kayak dulu, suka bercanda dan riang hati.