REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Said Aqil Siraj, Ketum PBNU
Runtuhnya "kekhalifahan" ISIS di Irak dan Suriah selain membuat cukup lega masyarakat dunia juga membuat kelimpungan banyak negara. Pasalnya, tidak sedikit warga negara di belahan barat dan timur yang tertimpa dilema, memulangkan atau membiarkan, termasuk Indonesia yang ratusan warganya masih terlunta di Suriah.
Tak seindah mimpi
Mereka yang tadinya "perindu mimpi ISIS", kemudian setelah hijrah dari negerinya, terbelalak dengan keadaan yang sebenarnya. Ternyata tak seindah mimpi yang pernah dibayangkan. Mereka termakan hoaks dan fake news tentang indahnya negeri berdaulat kekhalifahan sembari merujuk pada teks yang mereka pahami dengan sangat sempit.
Ayat-ayat "akhir zaman" yang begitu militan didakwahkan oleh para dai semakin membuat mata gelap untuk segera bersimpuh ke pangkuan kekhalifahan yang semu. Bila disidik, hingga kini pun masih tak sedikit warga negara kita yang penasaran dengan Bumi Syam.
Mereka ini ada yang berstatus deportan, yaitu mereka yang ingin pergi ke Suriah semasa ISIS tetapi teradang dan akhirnya hanya bisa bermukim selama beberapa bulan di Turki sebelum dipulangkan ke Indonesia. Padahal, mereka sudah menjual harta bendanya. Bahkan, rumahnya harus rela dijual demi bekal eksodus ke Suriah. Sekarang dia bekerja ngojek.
Ada juga yang belum sempat pergi dan hanya termangu mendengarkan pengajian-pengajian dari ustaz-ustaz yang terus menggelorakan untuk hijrah ke "negeri impian". Sementara itu, mereka yang sudah menginjakkan kakinya di Suriah dan hidup bersama ISIS hingga bertahun-tahun tersadarkan oleh kondisi nyata yang penuh tragedi dan trauma. Terlebih, setelah ISIS lintang pukang dihajar pasukan koalisi, serdadunya mencari tempat lain untuk melakukan serangan kecil-kecilan. Bahkan, ada yang direkrut Alqaidah yang kini kembali bangkit di Suriah.
Sementara itu, warga sipil dari berbagai negara harus terkatung-katung mencari perlindungan, lalu meratap untuk pulang ke negerinya. Mereka ini yang biasa disebut returnis. Ada yang sudah kembali ke tanah air, sungguh beruntung diterima. Bagi mereka yang masih berada di Suriah hingga sekarang, ini yang kemudian membuat pemerintah memikul problem.
Sinergi partikelir
Di tengah ramainya radikalisme dan isu WNI di Suriah ini, barusan terbit tahun 2019 ini sebuah buku menarik bertajuk 9 Wesdom Deradikalisasi yang ditulis oleh mentor deradikalisasi, Sholehuddin. Buku ini lahir dari pengalaman penulisnya dalam bergumul dengan napiter maupun eks napiter selama bertahun-tahun.
Dari hasil di lapangan inilah penulis mendapatkan temuan akan pentingnya panduan dalam menderadikalisasi eks kombatan. Jenis buku yang tergolong langka karena berhasil memadukan antara teori dan praktik deradikalisasi ini bisa menjadi panduan untuk melakukan pendekatan literasi terhadap eks Suriah.
Kita tahu, deradikalisasi menjadi jimat yang terus dirawat dan diruwat agar semakin ampuh dan mujarab dalam memoderasi eks teroris. Memang ada dinamika dan varian dalam menjalankan program deradikalisasi. Deradikalisasi sendiri adalah pembalikan dari radikalisasi.
Mereka yang berangkat ke Suriah adalah produk radikalisasi melalui mentor maupun membaca internet. Kini setelah kembali ke Tanah Air, mereka perlu ditempa program deradikalisasi secara lebih efektif.
Soal pemulangan warga negara RI yang di Suriah telah menyibukkan banyak institusi. BNPT sebagai institusi garda depan dalam penanggulangan terorisme tentu harus kerja ekstra. Program yang perlu dilakukan sepatutnya perlu lebih inovatif. Kita berhadapan dengan mereka yang sudah terasuki ideologi radikal model ISIS yang takfiri.
Ideologi ISIS ini di negeri kita cukup mendapat tempat di kalangan jihadis seperti Jamaah Anshorud Daulah (JAD) yang jelas-jelas memproklamasikan dukungannya terhadap ISIS. Belum lagi yang sifatnya klandestin (tandzim sirri) dan jihad mandiri (lone wolf) yang layak diwaspadai. Pendekatan literasi menjadi pilihan yang niscaya.
Mereka yang tersihir oleh ISIS lalu berangkat ke Suriah tak bisa dilepaskan oleh faktor kurangnya pendalaman literasi. Mereka mudah termakan "promosi" di internet yang digencarkan ISIS. Mereka lebih banyak membaca narasi dangkal dan instan tanpa pendalaman sehingga hilang daya kritis.
Buku-buku babon tentang keislaman yang mencerdaskan tidak pernah dijamah oleh mereka. Teknologi internet yang bisa dibaca cukup dengan memencet gawai membuat mereka ini tambah enggan menggeluti kajian keislaman yang lebih holistik melalui pembacaan buku-buku yang mu’tabar (otoritatif).
Fakta memprihatinkan ini memang tidak kasuistik terjadi pada mereka yang ke Suriah tetapi menjadi fakta umum masyarakat kita. Terbukti, banyak dari berbagai kalangan masyarakat yang mudah sekali terpapar radikalisme. Sementara itu, para mentor radikal offline maupun online berhasil memainkan kedangkalan pengetahuan audiensnya, lalu mencekoki dengan "pengetahuan picik" yang mendorong pada kebencian.
Menderadikalisasi eks Suriah nantinya diharapkan tidak sekadar berpangku pada kelaziman. Kita perlu melakukan pendekatan out of the box dalam menyikapi kelompok yang sudah kadung terbelenggu ideologi radikal.
Menyimak hasil penelitian James M Lutz dan Brenda Lutz dalam Global Terrorism (2004), dalam menangani terorisme tidak ada teknik atau pendekatan kontrateroris (counterterrorist) yang tunggal sebab terorisme jauh lebih kompleks dari sekadar satu pendekatan. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk terus mengembangkan inovasi deradikalisasi yang tepat guna dalam mencari solusi terhadap penanggulangan terorisme.
Di sisi lain, perlu sinergi yang tidak hanya dengan institusi pemerintah terkait. Perlu kiranya mengajak pegiat deradikalisasi partikelir yang punya pengalaman dalam deradikalisasi. Di Jakarta, misalnya, sudah ada Rumah Daulat Buku (Rudalku) yang bergerak melalui pendekatan literasi untuk menderadikalisasi eks napiter. LSM ini mungkin bisa diajak dalam program deradikalisasi eks Suriah.
Rumah Daulat Buku (Rudalku) punya program mendirikan perpustakaan dan pengajian berkala dengan mentoring melalui disiplin keislaman yang metodis seperti kajian ushul fikih. Eks Suriah bisa saja diikutkan dalam pendirian perpustakaan di rumah serta pengajian yang diampu LSM ini. Begitu pun sinergi dengan LSM lain yang memiliki spesialisasi dalam deradikalisasi.
Deradikalisasi tetap perlu dilakukan, khususnya pula untuk eks Suriah yang hendak dipulangkan. Memang ada tipologi jihadis yang masih keukeuh mempertahankan keyakinan mereka meskipun telah menghabiskan bertahun-tahun di penjara. Namun, keterlibatan kembali semacam itu bukanlah pola umum karena paling sering mengarah pada deradikalisasi.
Walhasil, buku panduan deradikalisasi dan sinergi partikelir perlu diwujudkan secara simultan. Mereka yang terlibat dalam deradikalisasi perlu membaca panduan agar tidak tersesat dan berakhir malapraktik. Intitusi negara yang mendapat amanah untuk deradikalisasi selayaknya menggandeng LSM yang bergerak di literasi. Dengan begitu, kita berupaya menguatkan pendekatan literasi terhadap eks Suriah yang radikalismenya bersentuhan dengan paham takfiri ISIS.