Senin 30 Sep 2019 05:51 WIB

Terima Kasih Mahasiswa!

Pemerintah wajib menyebarluaskan substansi RUU guna memperoleh masukan masyarakat.

Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM, Richo Andi Wibowo
Foto: dokpri
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM, Richo Andi Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Richo Andi Wibowo, Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM; Peneliti Isu Pencegahan Patologi Birokrasi

Baru-baru ini, sejumlah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tampak disudutkan oleh sebagian narasumber dalam acara talkshow kondang yang ditayangkan oleh sebuah stasiun TV swasta. Kejadian ini dapat mendorong publik menilai negatif kepada para ketua BEM tersebut. Padahal mereka merepresentasikan masa yang sedang berdemonstrasi. Tulisan ini berupaya mengajak pembaca untuk melihat kejadian yang ada dengan lebih jernih dan proporsional.  

Konteksnya adalah para ketua BEM tersebut diundang sebagai perwakilan masa aksi yang menuntut penundaan pembahasan sejumlah RUU, termasuk RKUHP. Di sisi lain terdapat sebagian narasumber yang terlibat dalam pembentukan RKUHP, misalnya anggota Komisi III DPR RI, Junimart Girsang; Menteri Hukum dan HAM, Prof Yasonna Laoly; dan Tim Perumus RKUHP, Prof Harkristuti Harkrisnowo. 

Pada intinya, ketiga narasumber tersebut tampak menekan para ketua BEM dengan menyatakan bahwa para mahasiswa tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan; mereka dituding mendasarkan tuntutan pada informasi yang sesat yang tersebar di masyarakat. Bahkan tekanan semakin telak ketika narasumber mengetahui bahwa para ketua BEM ini bukan orang hukum; akibatnya keberadaan mereka dikerdilkan karena dianggap tidak mengerti dengan sistem dan logika hukum. 

Sebagian di antara narasumber juga tampak emosional; menilai mahasiswa dan masa aksi tidak mengetahui bahwa menyusun RKUHP adalah pekerjaan yang mahaberat. Mahasiswa juga dinilai abai dalam mengapresiasi ikhtiar baik yang dilakukan oleh negara dengan segenap tim ahli begawan hukum pidana untuk mengubah aturan hukum kolonial menjadi lebih berjiwa hukum Indonesia.

Kondisi debat pun kemudian tampak kurang imbang. Maklum, sekalipun para ketua BEM tersebut hebat, mereka sedang berhadapan dengan pakar hukum yang senior nan mumpuni.  

Terhadap situasi di atas, di satu sisi kita memang perlu mengapresiasi kerja keras pemerintah dengan segenap tim perumus RKUHP. Sekalipun di sisi lain juga perlu tetap didorong ruang untuk diskusi dalam mengulas pasal-pasal yang dianggap mengkhawatirkan oleh sebagian masyarakat. 

Tiga alasan mendukung aksi mahasiswa

Pada ulasan berikut, penulis tidak akan masuk untuk mendiskusikan isu substansi RKUHP. Namun izinkan penulis untuk menggunakan konsep transparansi dan persepsi hukum untuk ‘menyinari’ permasalahan yang ada. Penulis menawarkan tiga alasan mengapa kita tetap perlu mengapresiasi para ketua BEM dengan segenap masa aksi yang berdemonstrasi. 

Pertama, jika memang benar tuduhan atas adanya distorsi informasi, maka bisa dipastikan itu bukan salah mahasiswa dan/atau rakyat; itu salah negara. Mari kita ingat, bahwa pada dasarnya draf RUU apapun di negeri ini sulit diakses secara terbuka oleh publik, dan situasi ini juga terjadi di RKUHP. 

Benar bahwa RKUHP telah dibahas di aneka focus group discussion, disosialisasikan di aneka tempat, dan sebagainya. Namun itu belum dapat dimaknai sebagai telah tertunaikannya kewajiban negara untuk menyediakan akses publik secara terbuka atas RUU tersebut. Relevan untuk menginformasikan bahwa ketika penulis mencari RKUHP di website resmi DPR, maka jawaban yang keluar adalah “tidak ditemukan hasil pencarian”.

Padahal, merujuk pada Pasal 88 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR dan pemerintah wajib untuk menyebarluaskan substansi RUU guna memperoleh masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan seluas-luasnya. Frase ‘seluas luasnya’ perlu dimaknai bahwa itu dokumen dan informasi itu dapat diakses masyarakat dengan mudah.  

Bahkan, negara juga perlu menyediakan akses atas aneka versi draf RUU (dengan segenap dokumen pendukung lainnya) dari yang versi awal hingga versi terkini. Hal ini penting untuk mengefektifkan komunikasi dan meminimalisir misinformasi.  

Mari kita ingat kembali situasi pada tahun 2011, misalnya. Kala itu, aliansi mahasiswa ‘menggeruduk’ DPR meminta agar aspirasi mereka atas RUU Pendidikan Tinggi didengar. Situasi berakhir hambar dan tidak jelas. 

Anggota DPR yang menerima mahasiswa menjawab ringan bahwa “poin Anda sudah out of date, versi draf yang Anda miliki adalah yang lama.” Bisa dibayangkan, mahasiswa (atau siapa saja yang menghadapi situasi ini) akan kesulitan dalam memvalidasi benar tidaknya pernyataan anggota dewan tersebut karena memang publik tidak bisa memonitor dari satu titik sumber informasi yang sama. 

Lebih dari itu, ditinjau dari perspektif asas transparansi, sebenarnya negara bukan hanya berkewajiban untuk memberikan masyarakat akses terhadap dokumen. Namun juga berkewajiban untuk menyediakan informasi tersebut dengan membahasakannya secara sederhana, namun tanpa mereduksi substansi. Itulah sebab ada perkembangan paradigma di dunia ini dari sekedar hak untuk mengakses dokumen (right to access document) menjadi hak atas keterbukaan (openness) (Birkinshaw: 2006, hlm. 188-190).    

Mengingat hal-hal di atas belum dipenuhi oleh negara, maka logis saja jika mahasiswa dan masyarakat gaduh. Inilah yang kemudian menjadi dasar alasan yang kedua untuk mengapresiasi mahasiswa. Mereka telah berusaha keras belajar dan mencari tahu padahal itu (i) bukan tanggung jawab utama mereka; dan (ii) akses informasi serba terbatas. 

Untuk membantu memvisualisasikan, marilah kita bandingkan tindakan mereka dengan kejadian ‘unik’ tahun 2015. Kala itu Presiden Jokowi menandatangani Perpres yang salah satu substansinya adalah menaikkan anggaran uang muka pembelian mobil untuk pejabat negara. 

Ketika publik ramai mengkritik Jokowi, ia menjawab polos yang intinya menyatakan bahwa ia tidak membaca apa yang telah ia tandatangani (Republika, 06/04/2015) (Kompas, 06/04/2015). Dengan perbandingan ini, seharusnya tidak sulit bagi publik untuk mengapresiasi positif ikhtiar yang telah diambil mahasiswa. 

Ketiga, boleh jadi sikap mahasiswa yang sinis dan tidak mengapresiasi kinerja legislasi pemerintah dan DPR untuk isu RKUHP adalah debatable. Tapi marilah kita lihat dari perspektif yang lebih luas. Isu besarnya ada pada public distrust terhadap lembaga negara. 

Jangan lupa bahwa aksi mahasiswa dipicu oleh pemerintah dan DPR yang tempo hari membahas revisi UU KPK secara ugal-ugalan. Lebih dari itu, publik mendeteksi bahwa pemerintah dan DPR juga akan melakukan hal yang sama untuk sederet RUU yang lain. Jadi wajar saja jika publik khawatir akan ada pasal-pasal yang kelak dapat mengancam hak mereka.

Lagipula, bukankah harus dimaklumi jika masyarakat memiliki ketakutan yang lebih eksesif terhadap suatu rumusan pasal? Bukankah ada kejadian-kejadian yang mana masyarakat kecil menjadi korban bahkan untuk rumusan Pasal yang diatas kertas tidak tampak bermasalah? Bukankah masih segar dalam memori kolektif kita atas kasus Baiq Nuril? 

Singkat kata, sudah sepantasnya publik berterima kasih kepada mahasiswa. Jika ada situasi yang berhasil mengesankan mereka tidak menguasai isu, maka problemnya bukan pada mereka, melainkan pada lembaga-lembaga negara itu sendiri yang gagal berkomunikasi dengan baik kepada rakyat dan gagal membangun kepercayaan publik. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement