Ahad 20 Oct 2019 14:38 WIB

Halal Sebagai Gaya Hidup

Halal termasuk cara mendapatkannya.

KH Didin Hafiduddin
Foto: Darmawan/Republika
KH Didin Hafiduddin

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Didin Hafidhuddin

Salah satu agenda besar yang harus selalu diperjuangkan oleh bangsa Indonesia dan terutama oleh kaum muslimin, seperti tersurat dan tersirat dalam Rapat Kerja Nasional Majlis Ulama Indonesia (Rakernas MUI) ke V  2019 di Praya Lombok NTB  yang berlangsung dari tanggal 12 sd 14 Shafar 1441 H / 11 sd 13 oktober 2019, adalah menjadikan Halal sebagai Life Style (gaya hidup) dengan semboyan HALAL IS MY LIFE-STYLE.

Halal sebagai gaya hidup, tentu bermakna luas, mencakup semua bidang kehidupan. Halal dalam makanan dan minuman, halal dalam obat-obatan, halal dalam pakaian, halal dalam pekerjaan dan usaha, halal dalam kegiatan ekonomi, halal dalam kegiatan parawisata dan segala yang terkait dengan nya, seperti hotel, restoran dan lain sebagainya.

Kenapa harus halal? Karena halal ini akan memberikan dampak positif yang sangat besar terhadap kehidupan lainnya, dan terutama terhadap perilaku keseharian umat dan bangsa serta karakter dan akhlaqnya secara lebih luas. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 168 dan 169: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (168) Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (169).”

Demikian pula firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 172: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.”

Ayat ini secara tegas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mengkonsumsi makanan yang thayyib (baik dan halal) sebagai perwujudan keimanan kita kepada Allah SWT, perwujudan rasa syukur kepada-Nya serta bagian penting dari bukti ibadah dan kepada-Nya.

Sebaliknya jika kita terbiasa mengkonsumsi makanan dan minuman yang haram (baik benda maupun cara mendapatkannya) maka akan menyebabkan kuatnya perilaku buruk dan merusak serta akan menghantarkan pada kecelakaan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits bahwa setiap daging yang tumbuh dalam diri kita yang berasal dari makanan haram, maka neraka lebih utama kepadanya.

Demikian pula segala bentuk ibadah dan do’a kita kepada Allah SWT  diterima dan ditolaknya sangat bergantung pada makanan yang kita makan. Rasulullah SAW mengisahkan tentang seseorang yang datang dari jauh menuju Ka'bah, dalam keadaan lusuh dan kusut (karena jauhnya perjalanan yang ditempuh) lalu duduk bersimpuh memohon kepada Allah SWT sambil berucap Ya Raab Ya Raab (Tuhanku, Tuhanku) tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan oleh barang yang haram, maka bagaimana mungkin do’a dan permohonannya akan dikabulkan Allah SWT.

Halal Cara Mendapatkannya

Dalam kaitan dengan halal ini, maka cara mendapatkan rizki atau penghasilan harus benar-benar sesuai dengan aturan syari’ah maupun undang-undang yang berlaku bagi bangsa dan Negara kita. Tidak boleh kita mencari penghasilan dengan cara yang bathil, seperti suap atau risywah atau korupsi yang semakin hari nampaknya semakin banyak dilakukan, terutama oleh para pejabat publik yang mendapatkan amanah mengurus urusan masyarakat. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 188: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuat hadits bahwa laknat Allah akan menimpa para penyuap, para pemberi suap, dan orang yang menghubungkan di antara keduanya. Artinya laknat Allah SWT akan menimpa pada para Koruptor dan orang-orang yang terlibat denganya.

Korupsi ini memiliki dampak yang sangat buruk terhadap akhlak dan karakter bangsa dan juga terhadap laju dan pertumbuhan perekonomian. Dampak buruk tersebut antara lain: pertama, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al (dalam Irfan, 2012), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi, baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta Business Failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen. Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen PDB dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen PDB-nya setiap tahun juga akibat korupsi.

 Yang juga tidak kalah menarik adalah riset yang dilakukan oleh Mauro (dalam Irfan, 2012). Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (dalam Irfan, 2012) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, PDB per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004. Tidak hanya itu, Gupta et al (dalam Irfan, 2012) pun menemukan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.

 Kedua, korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Sehingga, kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat mengalami penurunan. Layanan publik cenderung menjadi ajang ‘pungli’ terhadap rakyat. Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan yang terkait dengan pemerintahan pasti berbiaya mahal. Sebaliknya, pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, maka layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (dalam Irfan, 2012) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan (contoh aktual adalah kasus BPJS) dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.

Ketiga, sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang terjadi justru sebaliknya, korupsi akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (dalam Irfan, 2012) menunjukkan bahwa peningkatan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.

Keempat, korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak, baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan, korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran, QS. An-Nahl [16] ayat 112, dikatakan sebagai Libaasul Khauf Wal Juu’ (pakaian ketakutan dan kelaparan). Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (dalam Irfan, 2012) menemukan fakta bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.

Karena itu, halal (baik substansi maupun cara mendapatkannya) sebagai gaya hidup harus menjadi perhatian kita bersama. Semua komponen bangsa harus terlibat aktif dalam gerakan halal ini sekaligus mempelopori dan memberi contoh. Semoga Allah SWT menjaga bangsa dan Negara kita dari berbagai macam penyakit sosial yang membahayakan sekaligus menguatkan keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya.

Wallahu A’lam bi ash-shawab.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement