Selasa 10 Dec 2019 19:08 WIB

Radikalisme, Peradaban, dan Rasulullah

Sebuah renungan, haruskah kita tetap alergi terhadap radikalisme?

Red: Karta Raharja Ucu
Mencegah Paham Radikal.  (ilustrasi)
Foto:

Bagaimana dengan peradaban Islam? Melalui shirah Rasulullah, sejatinya para pihak yang anti-radikalisme menampakkan sikap gagal pahamnya. Bagaimana tidak? Rasulullah yang kita agungkan --dari awal perjalanan hidupnya (semasa muda, dewasa dan sampai dinobatkan sebagai Nabi dan Rasul)-- tak lepas dari jati dirinya yang radikal.

Sebagai muslim bahkan kalangan nonmuslim tahu bahwa Muhammad ibn Abdullah bin Abdul Muththalib – semasa muda – senantiasa berpikir dan bahkan “memberontak” atas tradisi bangsa Arab yang dekaden moralnya. Kaum lelakinya demikian merendahkan kaum prempuan. Sang aghniya begitu mengecilkan kaum dhuafa. Bahkan, terjadi pemandangan sosial (renten) yang menguat dalam bentuk jebakan bunga-berbunga dalam akad pinjaman.

Sisi lain, yang kuat secara sosial-“politik” senantiasa menguasai yang lemah, sehingga perbudakan menjadi panorama sosial yang demikian eksis sebagaimana yang dapat kita saksikan pada kepala-kepala suku Arab zaman Jahilyah. Juga, mabuk-mabukan menjadi pemandangan rutin harian yang meluas di tanah kelahirannya: Makkah. Itulah pemandangan sosial bangsa Arab yang selalu mengganggu pikiran Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Muththalib jauh sebelum mendapat mandat sebagai Rasul.

Kegundahannya mendorongnya mencari kebenaran sejati atas panorama sosial bangsa Arab Jahiliyah itu. Muhammad muda sadar ada persoalan mendasar yang salah, apalagi sampai menjadi tradisi bangsa Arab saat itu.

Cara pandang itulah yang kemudian mendorongnya mencari petunjuk apa yang menjadi raktor utama dan determinan yang melanda bangsa Arab zaman itu. Itulah yang membuat kesadaran Muhammad muda saat itu harus melakukan tahannuts ke gua Hiro, menyingkir dari hiruk pikuk kehidupan yang tak beradab. Guna mencari solusi konstruktif bangsa Arab yang diyakini salah.

Sejarah mencatat, pascabersemedi selama empat puluh hari dan Allah menobatkan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, langkah yang dilakukan adalah bagaimana memperbaiki akhlak bangsa Arab. Bukan hanya dengan sekedar statemen (sabda) dalam mengajak, tapi bersikap dan berperilaku reformatif-rekonstruktif atas tradisi masyarakat Arab yang dekaden itu.

Dirinya menteladankan diri sebagai insan yang berakhlak mulia yang jauh beda dengan perangai dan perilaku masyarakat Arab di sekitarnya. Itulah sebabnya, awal dakwah Rasulullah yang disampaikan, “Sesungguhnya, Kami diutus (ke muka dunia ini) untuk menyempurnakan akhlak”. Dengan memperbaiki akhlak –secara teoritik dan telah teruji secara empirik– menjadi formula mendasar untuk memperbaiki tata-nilai sosial bangsa Arab.

Di mata Rasulullah, restorasi akhlak merupakan cara dan langkah yang sangat mendasar untuk mengatasi problem sosial bangsa Arab Jahiliyah itu. Sisi lain, Rasulullah pun menelaah panorama dekadensi moral itu akibat dari existing-nya sistem kepercayaan yang dianutnya.

Paganisme yang dianut bangsa Arab Jahilyah dinilai menjadi faktor tiadanya petunjuk  atas problem moral bangsa Arab itu. Karenanya, sistem keyakinan yang sama sekali nihil bagi kepentingan perbaikan pribadi dan bangsa juga dinilai sebagai persoalan yang sangat mendasar. Karenanya pengubahan sistem keyakinan bangsa Arab jahiliyah yang paganistik-monotheistik itu dinilai sebagai persoalan mendasar pula yang harus dicari solusinya.

Apa yang dilakukan Rasulullah dalam upaya memperbaiki bangsa Arab Jahilyah adalah fakta historis sikap radikal yang tidak rela dengan existing tradisi bangsa Arab yang dihadapi kesehariannya. Keterpanggilan Beliau adalah memperbaiki akhlak masyarakat dan atau bangsanya yang memang hidup dalam suasana keterancaman dan ketidaknyamanan bagi kalangan yang lemah secara sosial, ekonomi bahkan “politik”, sekaligus gerah saat melihat penindasan, pelecehan dan ketidaknormalan perilaku akibat hilang akalnya karena mabuk-mabukan.

Reaksi Rasulullah – jika kita refleksikan dalam sistem kemanusiaan – merupakan sikap revolusi antikebiadaban terhadap hak asasi manusia. Subhanallah. Sikap Rasulullah mencerminkan betapa dirinya selalu memikirkan umat manusia lain. Gundah kerena terjadi anomali sosial yang sangat akut, yang –boleh jadi– sudah berlangsung puluhan tahun bahkan beberapa abad sebelum Rasulullah lahir sejak Nabi Isa AS diangkat Allah ke langit dari ancaman pembunuhan umatnya akibat hasutan muridnya: Brutus.

Yang perlu kita catat lebih jauh, perubahan perkembangan mental-spiritual bangsa Arab, bahkan –jika kita jabarkan lebih jauh terkait sebaran pengaruh rekonstruktifnya bagi umat Islam di dunia ini dan bahkan umat lainnya– tak lepas dari kesadaran dan keterpanggilan Rasulullah dalam upaya menata persoalan yang sangat mendasar itu. Inilah sikap Rasulullah yang menjadi faktor penting dalam membangun peradaban umat manusia.

Tak bisa disangkal dan itulah yang tercatat secara historis, Rasulullah telah berhasil memperbaiki akar persoalan umat, yang diawali dari wilayah Arab Makkah. Keberhasilan di tengah Makkah dilanjutkan ke Madinah dalam meletakkan sistem keyakinan yang lebih kuat dan sempurna. Penguatan posisi “akar” yang ada di bawah permukaan tanah (moralitas) dilanjutkan ke atas permukaan sebagai fondasi (spiritualitas).

Agenda pembangunan spiritualitas manusia merupakan fondasi utama dan strategis dalam menjalankan risalah yang diamanahkan Allah. Sejarah mencatat jelas, radikalisme dan fondamentalisme Rasulullah yang dibangun menjadi karya peradaban umat manusia.

Tanpa upaya pembenahan sesuatu yang sangat mendasar (radikal), tak akan ada cerita perbaikan moral. Sementara, dekadensi moral berandil besar terhadap berbagai panorama kehancuran kehidupan umat manusia dan lingkungan sekitarnya, sebagai sesama umat manusia (konflik terbatas atau meluas yang kadang melibatkan unsur negara), ataupun tatanan alam. Harus jujur kita sampaikan, panorama kerusakan alam secara sistemik dan sangat meluas berdampak pada reaksinya dalam bentuk longsor, banjir, gempa fulkanik ataupun tektonik, bahkan amuk angin torpedo, temperatur udara yang menyengat dan lainnya.

Semua itu akibat dekadensi moral umat manusia karena hilangnya kontrol atas kekuasaan politik yang ada di tangannya. Dekadensi moral itu pula yang mendorong sebagian pihak begitu rakus dalam upanya menguasai potensi sumber daya alam secara melampaui batas.

Dalam konteks inilah "radikalisme" yang diteladankan Rasulullah sesungguhnya berdimensi sangat mendasar: bukan hanya cinta dan sayang yang mendalam terhadap kepentingan manusia, tapi juga terhadap makhluk lain (alam semesta) dalam kerangka menjaga keharmonisan eksosistem. Realitas keharmonisan itu merupakan konsep mendasar dalam menjaga keseimbangan kehidupan umat manusia bersama alam. Sungguh indah.

Menganalisa kiprah keteladanan Rasulullah dalam menjalankan risalahnya, maka kita perlu menkaji ulang sekaligus mendudukkan persoalan bahwa radikalisme itu merupakan faham yang seharusnya dijadikan spirit untuk hidup jauh lebih progresif. Demikian idal. Sebuah renungan, haruskah kita tetap alergi terhadap radikalisme? Berkaca, mengenang dan merujuk shirah Rasulullah, maka hanya ada satu kata: sungguh naif sikap antiradikalisme itu.

Bahkan perlu kita catat, upaya mengenyahkan radikalisme – bisa kita terjemahkan – sebagai sikap yang mereduksi syahadat kita. Bisa dikategorikan tidak lengkap berislamnya. Bersaksi kepada Muhammad sebagai Rasulullah satu kesatuan ketika kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Yang sangat memprihatinkan adalah kini terdapat gerakan terencana dan sistimatis untuk mengubur keteladanan Rasulullah. Sampai-sampai –karena demikian alergi dan ekstrimnya –buku-buku yang ada bernuansa radikalisme harus dihapus. Na'udzu billah. Karena gagal paham atau takluk terhadap agenda anti-Islam yang disponsori kekuatan global? Wallahu 'alam.

-- Jakarta, 28 November 2019

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement