REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Musni Umar menilai upaya pemerintah untuk memberantas radikalisme dengan menyasar pada kurikulum pendidikan agama Islam seperti materi Khilafah dan Jihad dinilai salah arah. Hal ini dikhawatirkan dapat memojokkan umat Islam.
"Ini menakut-nakuti rakyat, ini upaya memojokkan dan ini tidak baik. Orang bisa saja berpikir bahwa ini pelemahan umat Islam," ujar Musni Umar kepada Republika.co.id, Senin (9/12).
Dia mengatakan definisi radikalisme yang disebut-sebut oleh pemerintah masih belum jelas di mata masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa pemerintah menyasar dan menuding radikalisme berasal dari umat Islam.
Padahal menurut Musni di Indonesia, tidak ada sejarah radikalisme. Namun yang ada adalah orang-orang yang memprotes masalah ketidakadilan.
Musni sepakat dengan pernyataan Menteri Sosial bahwa timbulnya radikalisme dan terorisme di masyarakat karena banyak masyarakat yang masih merasakan ketidakadilan ekonomi. Ini pun terbukti dari berbagai kasus terorisme yang kebanyakan pelakunya berasal dari keluarga tidak mampu.
Apabila akar masalahnya tidak diselesaikan, hal ini dinilai akan menimbulkan kontra produktif. "Kalau betul ada radikalisme, kenapa orang itu radikal? Berarti akar masalahnya harus diselesaikan. Kalau hidup mereka susah, mati pun mereka tak peduli," tutur Musni.
Menurutnya, hal yang tepat dalam mengatasi radikalisme adalah dengan menyelesaikan ketidakadilan ekonomi yang banyak dirasakan oleh masyarakat. Apalagi saat ini ekonomi masih melambat dan ada prediksi bahwa akan ada krisis ekonomi.
Visi dan Misi Presiden Jokowi sudah merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan diharapkan dapat meredam imbas dari guncangnya ekonomi global ke Indonesia.
"Karena pada saat krisis, orang-orang susah akan semakin marah. Jadi Visi dan Misi Pak Jokowi harus dituntaskan," kata Musni.