Senin 06 Jan 2020 18:32 WIB

Arogansi Cina di Laut Natuna Utara

Ulah Cina memasuki ZEE Indonesia di perairan Natuna termasuk kegiatan illegal.

Prajurit TNI AL di atas KRI Tjiptadi-381 saat mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, Cina kembali menunjukkan arogansinya terkait klaim sepihak atas kedaulatan di wilayah Laut Cina Selatan dengan negara-negara ASEAN. Cina pernah berkonflik dengan Filipina, Brunei, serta Malaysia.

Awal 2020, Cina kembali berkonflik, yaitu dengan Indonesia. Berawal dari masuknya kapal nelayan Cina yang dikawal kapal coast guard Cina di perairan Natuna pada 10 Desember 2019 yang kemudian diusir.

Namun, pada 23 Desember 2019 kapal coast guard ditambah kapal perang Cina kembali masuk mengawal nelayannya untuk mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia wilayah perairan Natuna. Alasan sejarah serta penerbitan peta 1947 yang dikenal dengan "Nine Dashed Line" menjadi dasar tidak masuk akal Cina melakukan klaim terhadap wilayah ZEE Indonesia saat ini.

Tindakan provokatif Cina sudah banyak ditentang dunia internasional. Mereka mendesak Cina mematuhi Konvensi PBB III "United Nations Conventions on the Law of the Sea" (UNCLOS) 1982.

photo
Pergerakan Kapal Perang Republik (KRI) dengan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).

Di samping UNCLOS 1982, Cina melanggar kerangka kode etik Laut Cina Selatan karena Cina dan 10 negara ASEAN telah menyetujui kerangka tersebut pada 2017. Laut Cina Selatan rentan akan konflik karena posisinya yang strategis dari segi ekonomi, geografis, dan politik. Kurang lebih 40 ribu kapal melintasi wilayah tersebut per tahun.

Di samping itu, data Muhar Junef (2018) menjelaskan, terdapat 213 miliar barel cadangan minyak dan 900 triliun kaki kubik kandungan gas alam serta menjadi sumber penangkapan ikan bagi nelayan di wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Indonesia. Arogansi Cina memasuki kawasan ZEE Indonesia di perairan Natuna untuk mencuri ikan telah melanggar kesepakatan UNCLOS 1982 dan termasuk kegiatan Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) Fishing serta melanggar UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia.

Cina tidak memiliki hak memasuki kawasan kedaulatan NKRI dengan alasan apa pun. Indonesia berdaulat penuh atas perairan Natuna. Hal tersebut sesuai hasil Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang hanya melahirkan delapan zonasi pengaturan rezim hukum laut yang di dalamnya tidak ada sama sekali menyebutkan "wilayah (zona), perairan tradisional/sejarah", seperti yang diklaim Cina.

photo
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).

Berbicara sejarah, Indonesia lebih diakui dunia internasional dibandingkan Cina. Karena dalam UNCLOS 1982 pada Bab IV tertulis "Negara Kepulauan" yang merupakan konsep yang ditawarkan Indonesia saat Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS III) dilakukan dan disetujui di Montego Bay, Jamaika, 10 Desember 1982 dan ditandatangani oleh 199 negara, termasuk Cina.

Konsep negara kepulauan menjelaskan, Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dunia internasional secara sah dan berhak menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Hal itu diperkuat UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (pengganti UU/Prp No 4 Tahun 1960) sebagai wujud di implementasikannya UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita (Melda Kamil Ariadno, 2018 dalam Peni Susetyorini, 2019). Dengan demikian, Cina hanya mengklaim sepihak, tetapi tidak memiliki dasar kuat untuk diakui secara sah oleh dunia internasional.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement