Selasa 12 Nov 2024 14:35 WIB

KSAL: Kesepakatan Prabowo dan Xi Jinping Soal Laut China Selatan untuk Cegah Ketegangan

"Kita tetap berpegang teguh pada UNCLOS 1982," kata Laksamana Ali.

Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping berjabat tangan seusai penandatanganan kerja sama di Balai Besar Rakyat, Beijing, China pada Sabtu (9/11/2024). Setelah menghadiri upacara kenegaraan, Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping melakukan pertemuan bilateral dan menyaksikan penandatangan Nota Kesepahaman antara para menteri kedua negara.
Foto: Florence Lo/Pool Photo via AP
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping berjabat tangan seusai penandatanganan kerja sama di Balai Besar Rakyat, Beijing, China pada Sabtu (9/11/2024). Setelah menghadiri upacara kenegaraan, Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping melakukan pertemuan bilateral dan menyaksikan penandatangan Nota Kesepahaman antara para menteri kedua negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil pertemuan Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping di Beijing pada Sabtu (9/11/2024) lalu sepakat untuk bekerja sama mengelola perairan yang diklaim secara tumpang tindih (overlapping claim). Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali menilai kesepakatan antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping soal tumpang tindih klaim perairan di Laut China Selatan itu bertujuan untuk mencegah ketegangan di kawasan.

“Kita tetap berpegang teguh pada UNCLOS 82, tetapi kita membuka pola kerja sama. Jadi, biar tidak ada pertikaian. Kita menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan,” kata Laksamana Ali.

Baca Juga

Ali menilai, Presiden Prabowo berupaya mencegah segala bentuk pertikaian di kawasan, tetapi itu pun dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) Tahun 1982. “Kalau itu bisa menguntungkan semua pihak, itu lebih baik, dan itu saya rasa menjadi jalan keluar dari pertikaian selama ini. Kita akan menurunkan tensi, ketegangan di Laut China Selatan,” kata Laksamana Ali.

Ali pun mengingatkan Indonesia bukan negara yang bersengketa (non-claimant state) untuk klaim wilayah di Laut China Selatan. “Jadi, kita tidak beririsan (jika dilihat dari) teritorial. Perairan teritorial tidak ada yang beririsan dengan nine-dash-line atau ten-dash-line,” kata KSAL.

Nine-dash-line dan ten-dash-line merujuk pada klaim sepihak China terhadap Laut China Selatan yang tidak mengacu kepada UNCLOS, tetapi kepada klaim tradisional-historis China. Klaim sepihak China itu memang tidak mencakup perairan teritorial Indonesia, tetapi klaim tersebut tumpang tindih dengan Laut Natuna Utara, yang merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Laut Natuna Utara berada di sisi selatan Laut China Selatan.

“Yang sebenarnya menghangat memang ada di Laut China Selatan sebelah utara, kalau di sebelah selatan tidak terlalu,” kata KSAL.

Oleh karena itu, dia yakin seluruh persoalan dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan diplomasi. “Kita selama ini tetap dipercaya oleh semua pihak bisa menurunkan tensi, ketegangan di kawasan, karena dari pihak China juga meminta tolong kepada kita untuk menjaga stabilitas keamanan dan stabilitas perdamaian di kawasan,” kata Laksamana Ali. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement