Rabu 10 Oct 2012 12:00 WIB

Catatan Tinggal di Eropa (VI) Menjelang Keberangkatan

Pesawat American Airlines yang mendarat di Bandara Internasional Miami, Amerika Serikat.
Pesawat American Airlines yang mendarat di Bandara Internasional Miami, Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID,Setelah urusan persyaratan selesai, saya kemudian pergi ke Jakarta untuk mengurus visa ke Portugal.  Salahnya saya sendiri, saya ketinggalan dalam kepengurusan visa dibandingkan teman-teman.  Pasport saya digunakan untuk bepergian dulu ke Cina bersama dengan teman-teman Jurusan Peternakan UMM.

Kalau mengurus visa bersama dengan teman-teman, saya menduga tidak akan kesulitan dalam mengurusnya.  Apabila diwawancarai, saya tinggal bilang, “saya minta visa sama seperti kepunyaan teman-teman”, beres.  Sayangnya dan sekali lagi sayangnya, saya sendirian mengurusnya.  Pada saat mengurus, saya kemudian dipanggil untuk wawancara di ruang dalam.

Pewawancara saya, perempuan muda Portugal dengan menggunakan bahasa Inggris.    Saya kemudian ditanya sesuatu hal, dengan mantap saya menjawab “yes”, ditanya lagi sesuatu hal, jawaban saya lebih mantap “yes”.  Orangnya mulai bingung, saya ditanya lagi, jawaban saya tetap mantap “yes”, berkali-kali selalu jawaban saya “yes” dengan intonasi yang semakin menurun. 

Kepercayaan diri saya runtuh, kok nggak jelas ya orangnya ngomong, maka sebagai jalan akhir, budaya Jawa saya gunakan, apapun pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari lawan bicara selalu akan mendapat jawaban “inggih” dari orang Jawa yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris adalah “yes”.  Akhirnya orangnya menyerah, dia kemudian mengajak saya dengan bahasa isyarat untuk kembali ke tempat semula, sambil mengomel panjang pendek, akhirnya beliau berkata “wanman” sambil mengacungkan satu jari. 

Sayapun dengan mantap mengikuti mengacungkan satu jari sambil ikut bilang “wanman”.  Saya pikir itu merupakan isyarat bahwa saya harus siap menghadapi resiko apapun dan sikap saya ya … siap grak.  Maka selesailah wawancara tersebut.  Sayapun kemudian pulang ke Malang kembali.  Sambil pulang saya berpikir keras, mengapa orang tersebut menunjuk satu jarinya ya. 

Apa beliau tidak puas dengan wawancara saya sehingga mengacungkan jarinya sambil bilang kalau dalam bahasa Indonesia “awas kamu”.  Apa beliau memperingatkan saya karena jawaban saya selalu positif “yes”.  Atau apa ya.  Akhirnya setelah di Malang saya baru sadar dan tahu (setelah diberi tahu teman-teman yang lebih dulu mengurus visa), ternyata beliau mengingatkan saya bahwa visa saya akan selesai dalam waktu “one month” bukan “wanman”.  Oalah ……

Akhirnya visa selesai dan kami berlima sepakat untuk berangkat bersama-sama.  Permintaan kami pada koordinator program adalah transit melalui Amsterdam.   Setidaknya dengan transit di salah satu negara Eropa, kami pernah menginjaknya.  Kami bisa bilang ke teman-teman, kami sudah pernah ke Belanda he he, meskipun hanya menginjak airportnya.  Namun demikian ternyata koordinator program tidak dapat menepati janji. 

Seharusnya penerbangan diurus mulai kota Malang, Indonesia sampai kota Braga, Portugal dan kemudian kembali, ternyata mereka hanya memberi tiket mulai Kuala Lumpur sampai Porto.  Lha dari Malang ke Kuala Lumpur bagaimana?.  Masak kami harus mengurus sendiri, disangkanya Kuala Lumpur itu dekat Sidoarjo tha? (maaf teman-teman dari Sidoarjo, bukan bermaksud menyindir lumpur Lapindo). Akhirnya saya menghubungi pak Suparto.  Jawaban beliau, nanti IRO UMM yang akan mengurus hal tersebut.  Hati agak tenang mendengarnya. 

Tapi setelah itu saya berpikir dan kami rundingkan dengan teman-teman seperjalanan, kemudian pak Suparto saya hubungi lagi, intinya minta penerbangannya yang “layak” (maksudnya yang fasilitasnya lumayan), jangan “Air Asia”, maklumlah pembaca sekalian.  Beliau langsung menyetujui.  Setelah menunggu beberapa hari, ternyata beliau membelikan tiket …… “Air Asia”.  Lho, kamipun bertanya kepada beliau, mengapa?, ternyata perjalanan kami berada pada peak season penerbangan.  Jadi semua tiket penerbangan sedang mahal, yang paling terjangkau ya hanya Air Asia. 

Oh begitu.  Itupun kami masih diberi bonus bagasi tambahan dan sajian makan, Alhamdulillah.  Akhirnya kami pasrah.  Problem belum berakhir pembaca, menjelang berangkat, pada satu pertemuan, pak Suparto kemudian mengumumkan bahwa ternyata tiket Air Asia yang dibeli, melebihi plafon yang ditentukan oleh koordinator program.  Jadi kesimpulannya, kami berlima harus menanggung kelebihan tersebut, namun demikian beliau memberikan keringanan dengan dapat dibayar setelah pulang dari Eropa.  Lho belum berangkat kok sudah punya utang.  Nasib……

Wahyu Widodo

Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

Rubrik ini bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia

sumber : PPI
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement