Senin 19 Dec 2016 15:00 WIB

Owner Coco Group, I Nengah Natyanta: Percaya Diri dengan Merek Sendiri

Red:

Seorang pebisnis membuat sejarah jika berhasil melekatkan identitas pada usahanya. Itulah yang dilakukan I Nengah Natyanta, pendiri sekaligus pemilik Coco Group. Putra Bali ini menilai brand bukan sekadar melekat sebagai nama perusahaan, melainkan juga citra dan persepsi seseorang terhadap usaha dan produknya.

Pria asal Karangasem ini berbisnis dengan menjadi diri sendiri, menawarkan kelebihan diri, membuat arah dan tujuan dengan cara terus berinovasi. Alih-alih bergabung dengan jaringan waralaba ritel yang sudah menjamur di berbagai sudut kota saat ini, Natya memilih berkompetisi dengan mendirikan Coco Group.

Usahanya mungkin belum tersebar di seluruh Indonesia, tetapi sangat populer di Bali. Dia juga melakukan self-branding, yaitu menamai jaringan hotelnya dengan nama sendiri, Hotel Natya ketimbang bermitra dengan merek asing atau brand lokal yang umum. Self-branding baginya menentukan kualitas, atribut, dan kepribadian seorang pebisnis.

Pebisnis sukses bagi Natya adalah yang bisa memupuk merek kecil menjadi besar. Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Mutia Ramadhani bersama Natya di Denpasar, beberapa waktu lalu.

Bagaimana awal mula berdirinya Coco Group?

Saya dulunya hanya karyawan biasa di Hotel Grand Hyatt Bali selama 12 tahun, yaitu 1992-2004. Enam tahun saya menjadi skuad dan enam tahun berikutnya menjadi waiter. Kehidupan karyawan hotel tak seglamor kehidupan para tamunya. Pada 1998, istri menyarankan supaya kami merintis bisnis sendiri. Kami pun membuka toko kecil bersama dengan teman.

Pada 2002, saya akhirnya membuka restoran bernama Coco Bistro. Alasan saya memberi nama tersebut cukup sederhana dan simpel, di restoran itu saya berjualan es kelapa muda (coconut).

Bisnis pariwisata di Bali naik turun, sehingga pada 2004 saya putuskan keluar dari hotel dan fokus berwirausaha. Bisnis kami ternyata berjalan bagus, hingga 2006 kami memberanikan diri mendirikan outlet Coco Mart pertama. Modal awalnya hanya Rp 15 juta dari gaji dan uang tip yang saya kumpulkan selama bekerja di hotel. Sejak itu, saya terus memetakan bisnis yang berkembang sampai sekarang.

Coco Group terdiri atas usaha apa saja?

Ada 11 anak usaha, mulai dari Coco Mart, Coco Supermarket, Coco Express, Coco Roti (bread & pastry), Coco Gourmet, Coco Gift Shop, Coco Dewata (pusat oleh-oleh khas Bali), Jaringan Hotel Natya, Natys Restaurant, Blue Surf (The Surf Riding Store), dan yang terbaru Coco Grosir.

Lini bisnisnya apa saja?

Coco Group terdiri atas tiga lini usaha, yaitu bisnis ritel, hospitality, dan produksi. Bisnis ritel terdiri atas minimarket, supermarket, dan grosir daring (online). Bidang hospitality ada hotel dan resort, sementara bisnis produksi ada pabrik roti yang memasok semua isi Coco Mart, hotel, vila, serta restoran, dan rencana terbaru kami, produk air minum dalam kemasan.

Mengapa tertarik ke grosir daring (online)?

Coco Grosir baru sebulan berjalan. Ini sifatnya delivery order. Ke depannya, bisnis ini akan kami perkuat dengan membentuk manajer wilayah, khususnya di titik-titik pariwisata, seperti Denpasar, Buleleng, dan Klungkung.

Bisnis ini sangat menjanjikan karena perkembangan bisnis tak lepas dari perkembangan teknologi. Mereka yang sukses adalah yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Buktinya, baru sepekan Coco Grosir beroperasi sudah memberi omzet hingga Rp 900 juta. Omzetnya besar karena kami tak perlu kantor besar, yang penting ada gudang penyimpanan. Barang tinggal taruh di gudang, tenaga pemasaran berjalan, dan sisanya dikerjakan secara daring.

Jumlah hotel yang dimiliki?

Saat ini sudah ada empat jaringan Hotel Natya berlokasi di Tanah Lot, Ubud, Denpasar, dan Gili Trawangan (Lombok). Kami juga mempunyai tiga jaringan Hotel Black Penny yang berlokasi di Gili Trawangan dan dua lainnya di Ubud. Bisnis perhotelan kami berbentuk city hotel yang menyasar pasar menengah ke bawah.

Khusus resort, kami menyasar pasar menengah ke atas. Natya Resort sudah dibangun di Ubud di atas tanah seluas 1,5 hektare (ha). Resort ini terdiri atas 24 vila pribadi dan secara resmi Desember tahun ini kami buka.

Mengapa Hotel Natya, bukan Hotel Coco?

Awalnya, saya memang mau menamakannya Hotel Coco, tapi ternyata sudah dipatenkan seorang pengusaha di Bandung. Sebelumnya di bidang ritel, saya baru saja membeli hak paten Coco karena ternyata sudah dimiliki seorang pengusaha di Manado yang berbisnis Coco Swalayan. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Coco itu kemudian saya beli seharga Rp 1 miliar. Ini karena bisnis utama kami memang di ritel dan kami sudah kuat dengan merek Coco. Angka satu miliar itu murah ketimbang saya harus ganti nama jaringan ritel kami.

Pengusaha di Manado itu sudah mematenkan nama Coco sejak 1996, sedangkan saya baru menamakan Coco Mart pada 2006. Baru saja 2015 saya membelinya. Hal serupa tak saya lakukan untuk hotel. Saya akhirnya memutuskan brand baru untuk jaringan hotel kami. Beberapa menit sebelum hotel pertama diresmikan, saya terpikir menyisipkan nama saya sebagai nama hotel tersebut.

Capaian bisnis?

Kami konsisten bertumbuh 25 persen per tahun. Bisnis ritel masih memimpin pasar. Coco Mart saat ini ada 85 outlet dan akan bertambah terus minimal 15 outlet per tahun. Hingga September 2016, kami sudah membangun 10 outlet Coco Mart baru yang statusnya berupa kerja sama dengan pihak lain, tetapi lebih banyak dimiliki Coco Group.

Ada rencana ekspansi?

Bali dan Lombok masih menjadi fokus utama bisnis ritel kami. Meski demikian, ke depannya kami berniat berbisnis ke luar daerah. Potensi bisnis ritel di Bali masih sangat besar sehingga sayang jika tak digarap. Buktinya? Banyak peritel masuk ke sini. Saya pun tertantang dengan pasar ritel di Bali yang selama ini masih dikuasai ritel asing.

Alasan masuk ke Lombok?

Sekitar delapan tahun lalu saya melancong ke Gili Trawangan. Saya melihat daerahnya cantik yang berarti potensi pariwisatanya bagus. Saya kemudian terinspirasi untuk membangun vila, kemudian Coco Mart, restoran, dan sekarang sedang dibangun hotel. Saat ini di sana sudah ada 24 vila, hotel sebanyak 27 kamar, dan rencananya hotel ini akan dikembangkan menjadi 80 kamar.

Banyak lahan belum tergarap di Gili Trawangan. Pasar mancanegaranya juga besar. Selain turis asing, turis domestik pun sudah mula ramai ke Gili Trawangan karena biaya penyeberangan dan penerbangannya relatif murah.

Penyebaran ritel Coco di Bali?

Saat ini penyebarannya di Bali masih di Tabanan, Gianyar, Badung, dan Denpasar. Coco Mart itu konsepnya mix-market, jadi ada di lokasi mana saja yang potensial, mulai dari titik pariwisata, perumahan, mal, juga bandara.

Jumlah karyawan?

Saya perkirakan sekitar 2.500 karyawan bekerja di Coco Group. Bisnis ritel kami berada di bawah naungan PT Bali Pawiwahan, sementara bisnis hotel di bawah PT Coco Bali Graha.

Bisnis lain di luar ritel, hospitality, dan produksi?

Kami juga mengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), Billabong Shop, Art Market, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tulus.

Alasan mendiversifikasi usaha?

Orang bilang saya ini pebisnis serakah. Padahal, saya ini memang senang mengembangkan bisnis. Bisnis itu bagian dari hobi saya, yaitu membuat sesuatu, dan ketika sesuatu itu jadi, ada kepuasan di hati. Saat ide dan inspirasi saya menjadi kenyataan, saat itu pula saya bisa senang.

Tidak takut bersaing dengan pemain raksasa, seperti Alfamart, Indomart, dan peritel asing?

Seorang pengusaha itu tugasnya menjual merek. Saya tak gentar. Saya tahu tempat mana yang belum berkembang, tapi berpotensi menghasilkan. Jika ada potensi, pasar pasti tercipta. Saya mau merek saya menjadi lebih branding lagi. Orang-orang harus tahu Coco Mart, tanpa perlu tahu siapa pemiliknya. Saya punya kebanggaan itu.

Kita kadang mengagungkan perusahaan luar sehingga dengan bangganya berada di bawah label ritel asing, padahal faktanya saat itu kita sedang dijajah. Kita harus bangkit. Brand lokal berpotensi besar karena pasar kita besar. Mengapa kita tidak bikin sendiri? Kita yang punya, kita yang kelola. Jangan bangga ikut brand luar. Kita perlu mendorong lebih banyak orang lokal untuk berani berwirausaha.

Pengembangan bisnis dalam waktu dekat?

Saya berencana membuat grup ritel kami go public melalui penawaran saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Bisnis ritel kami sudah kuat, tapi saya masih ingin mengembangkannya. Sayangnya, sumber dana belum maksimal. IPO merupakan salah satu instrumen investasi dalam rangka mendapatkan uang segar untuk modal kerja sehingga bisnis bisa berkembang lagi.

Langkah yang ditempuh untuk memuluskan IPO?

Saat ini saya sedang berdiskusi dengan salah satu perusahaan sekuritas, terkait tahapan dan prosedur yang harus dilalui sebuah perusahaan yang akan IPO. Melepas saham di bursa, menurut saya, lebih menguntungkan karena jumlah dana yang diperoleh bisa lebih besar, tidak dibatasi plafon dan suku bunga.

Keuntungan lainnya, aset perusahaan juga tidak berpindah tangan. Yang terpenting adalah pengawasan bisnis lebih terjamin saat sebuah perusahaan menjadi perusahaan terbuka, ketimbang perusahaan tertutup.

Besaran saham yang akan dilepas?

Pastinya ini bergantung dari rekomendasi perusahaan sekuritas yang menilai usaha kami. Saya pribadi siap melepas 40 persen.

Rencana porsi saham yang dilepas ke publik cukup besar. Alasannya?

Saya ingin mengembangkan lebih banyak supermarket. Share saham 40 persen tidak apa-apa sebab saya masih menjadi pemegang saham mayoritas. Saya juga masih bisa menciptakan bisnis baru dan saya optimistis akan hal itu. Meski Coco Mart nantinya sudah milik publik, saya bisa bikin lagi bisnis lainnya. Nilai aset kami sendiri untuk bisnis ritel saat ini sudah di atas Rp 500 miliar. Jika IPO terwujud, Coco Group akan menjadi perusahaan ritel perdana di Bali yang melantai di bursa.

Dari mana termotivasi untuk IPO?

Saya mendapat banyak pencerahan tentang IPO ini di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Wilayah Bali. Dari sana saya mendapat informasi mengenai besaran modal, besaran aset, lamanya perusahaan beroperasi, serta laporan keuangan yang bisa memuluskan jalan untuk go public. Semua sudah saya siapkan. Saya yakin perusahaan saya akuntabel, apalagi saya juga sudah ikut tax amnesty.

Saya ikuti prosesnya mulai dari sekarang. Jika tak mulai dari sekarang, rencana IPO akan mundur terus. Anak buah saya sempat mempertanyakan rencana bisnis ini. Saya katakan, jika perusahaan tak besar, manajemennya tak akan pernah besar. Saya juga ingin anak buah saya di level manajer dan general manager, misalnya mengalami peningkatan grade. Menjadi PT secara tak langsung juga meningkatkan kualitas SDM Coco Group dalam mengelola usahanya.        ed: Mansyur Faqih

***

Tak Henti Mencari Inspirasi

Setiap orang bisa menciptakan keberuntungannya sendiri. Owner Coco Group, I Nengah Natyanta tak pernah bosan memperluas dan menambah jaringan bisnisnya. Dia tak gengsi walau hanya mendirikan satu unit SPBU, atau membuat satu toko kecil sebagai pusat oleh-oleh.

Pemikirannya sederhana, jika pekerjaan itu menghasilkan uang, ia akan mengerjakannya sepenuh hati. Itu karena bisnis besar selalu berangkat dari bisnis kecil. "Bisnis besar atau kecil sama saja karena pada dasarnya, bisnis apa pun membutuhkan ketekunan," katanya kepada Republika.

Jika bisnis sudah tumbuh, menurut Natya, semua orang bisa hidup. Ekonomi akan berjalan bagus dengan sendirinya. Petani, karyawan, hingga penyedia jasa bisa terpakai seluruhnya. Ia mencontohkan, dengan mendirikan sebuah Coco Supermarket di satu daerah, bisnisnya bisa menyerap dan memasarkan hasil-hasil pertanian masyarakat lokal, dari cabai, buah, hingga sayuran lainnya.

"Petani jadi berdaya. Jika mereka cuma menanam, tapi tak ada yang menjual, ya tidak bisa. Pelaku ekonomi itu harus bersinergi," katanya.

Ketekunan menumbuhkembangkan bisnis membuat Natya tak gentar menghadapi jatuh bangun usaha. Dia menyadari harapan kadang tak sesuai kenyataan di lapangan. Kekuatan seorang pebisnis diuji saat itu supaya bisa keluar dari permasalahan, mencari solusi, dan melanjutkan usaha.

Semakin percaya diri seseorang, semakin banyak keberuntungan dan solusi yang ditemukan. Gelombang kepercayaan diri adalah modal utama menemukan solusi setiap permasalahan dalam bisnis.

Orang yang sebatas bermimpi hanya akan mendapatkan tujuannya dalam mimpi. Kondisinya jelas berbeda dengan orang yang bermimpi sekaligus bekerja keras dan tekun mewujudkan mimpinya.

Inilah yang membuat Natya terus mencari inspirasi setiap hari. Berlibur sambil bekerja, jalan-jalan sambil memikirkan ide bisnis baru, demikian sosok Natya. Dia melakukan perjalanan ke berbagai negara demi menemukan inspirasi, dari ke Singapura, Rusia, hingga Amerika.

Natya membutuhkan kerja keras dan budaya kerja saat pertama kali mendirikan Hotel Natya. Meningkatkan branding Natya di awal pembentukannya cukup susah, diperlukan proses mengingat sudah banyak hotel menjamur di Bali. Semua perlu kesabaran hingga Hotel Natya dikenal publik.    Oleh Mutia Ramadhani, ed: Mansyur Faqih

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement