Rabu 28 May 2014 16:30 WIB

‘Perang Suci’ Melawan Pembudayaan Perilaku Seks Menyimpang

Red:

Oleh Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre

Dari Simposium “Indonensia Menanggulangi Perilaku Seks Menyimpang: Apa dan Bagaimana?” yang diselenggarakan di Jakarta Islamic Centre (JIC) pada Rabu, 28 Mei 2014, ada beberapa tulisan dari narasumber yang menjadi masukan berharga bagi para peserta simposium, di antaranya tulisan Prof Yasmine Zaki Shahab yang mengulas perilaku seks menyimpang dari perspektif antropologi.

Menurut Prof Yasmine Zaki Shahab, secara garis besar, definisi kebudayaan dapat dikategorikan atas dua kelompok, yaitu kelompok esensialis dan kelompok antiesensialis.

Kelompok pertama mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks pengetahuan, peraturan yang menjadi pedoman anggota masyarakatnya untuk bertingkah laku. Dengan kata lain, kebudayaan menentukan tingkahlaku anggota-anggotanya. Dengan menggunakan definisi ini, perilaku menyimpang adalah perilaku yang bertentangan dengan kebudayaan dari pelaku.

Dengan demikian, perilaku seksual menyimpang adalah perilaku terkait hubungannya dengan masalah seksual yang bertentangan dengan norma-norma seksual dalam masyarakat tersebut. Pre marital sexual intercourse (hubungan seksual sebelum kawin) dan extra marital sexual intercourse (hubungan seksual di luar perkawinan) di Indonesia merupakan kelakuan seksual menyimpang karena keduanya bertentangan dengan norma-norma perkawinan di Indonesia.

Sedangkan, kelompok antiesensialis berpendapat bahwa manusia juga dapat mengubah dan membentuk kebudayaan. Perilaku menyimpang dengan menggunakan pendekatan antiesensialis adalah perilaku anggota masyarakat yang mengonstruksi norma-norma tertentu, dalam hal ini norma-norma terkait kehidupan seksual sehingga terjadi perubahan atau dinamika dari kebudayaan tersebut.

Sebagai contoh, homoseksual di Indonesia beberapa waktu yang lalu dianggap bertentangan dengan norma kebudayaan di negeri ini. Namun, seiring berjalan nya waktu, kelompok homoseksual mulai mendapat tempat di negeri ini.

Dengan perspektif esensialis dan antiesensialis, berarti terdapat hubungan timpal balik antara kebudayaan dan anggotanya di mana kebudayaan menentukan tingkah laku anggotanya. Namun, anggota masyarakat juga dapat menentukan bentuk kebudayaan sehingga terjadi dinamika dari kebudayaan tersebut.

Memakai definisi dari kelompok antiesensialis dalam membicarakan kebudayaan, kita akan bertemu dengan konsep-konsep rekonstruksi, revitalisasi, pencitraan, rekacipta tradisi (invention of tradition), yaitu konsep-konsep di mana anggota masyarakat menentukan bentuk kebudayaan. Adapun untuk pendekatan esensialis, kita akan bertemu dengan konsep-konsep sosialisasi, enkulturasi, dan penyimpangan di mana tingkah laku anggota masyarakat ditentukan oleh kebudayaan.

Dalam pengertian awam, kata belajar terutama diartikan sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk menguasai pengetahuan atau keahlian tertentu. Di lain pihak, dalam buku-buku yang bersifat ilmiah, belajar sering diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat pengalaman. 

Masih menurut Prof Yasmine Zaki Shahab bahwa proses belajar pada individu atau proses pembudayaan pada komunitas bisa berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja. Hal itu membawa kita untuk melihat proses pembelajaran dan pembudayaan melalui konsep-konsep enkulturasi (termasuk internalisasi), rekonstruksi termasuk revitalisasi, pencitraan, dan rekacipta tradisi.

Perubahan dapat terjadi karena ada pihak tertentu yang secara sengaja atau tidak sengaja dapat menimbulkan perubahan dan pihak ini kita namakan agen perubahan. Seperti perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman bisa terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, maka agen ini juga dapat dikategorikan sebagai agen yang sengaja atau agen yang tidak sengaja melakukan perubahan.

Dari penjelasan Prof Yasmine Zaki Shahab tersebut, kita sadari bahwa kasus-kasus perilaku seks menyimpang, terutama pedofilia, yang  masih bermunculan di Indonesia tidak terjadi begitu saja atau terjadi secara sporadis, tetapi melalui sebuah proses pembelajaran budaya atau pembudayaan kepada masyarakat yang dilakukan oleh kelompok antiesensialis dan agen-agennya. Mereka ingin perilaku seks menyimpang di Indonesia dapat diterima dan menjadi budaya. Mereka terus melakukan pembelajaran ini dengan berbagai cara.

Contohnya pada September 2010, mereka melakukannya melalui Q! Film Festival 2010, yaitu pemutaran film-film tentang homoseksual, lesbian, biseksual, dan transgender dari beberapa negara. Kegiatan pembelajaran mereka ini dapat digagalkan sehingga film-film pembelajaran perilaku seks menyimpang tersebut tidak jadi ditayangkan di bioskop, kampus, dan di tempat-tempat lainnya di beberapa kota besar di Indonesia, walau sempat dilakukan di TIM, setelah Front Pembela Islam (FPI) melakukan demo di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe House Institute, di Pusat Kebudayaan Prancis Center Culture Francais (CCF), Pusat Kebudayaan Erasmus Huis, dan Japan Fondation yang semuanya berdomisili di Jakarta pada Selasa, 28 September 2010, yang diliput oleh media massa.

 

Maka, mungkin saja para pelaku kekerasan seksual yang belakangan ini terjadi adalah murid-murid yang telah lulus dengan nilai terbaik dari proses pembelajaran atau pembudayaan dari kelompok antiesensialis dan agen-agennya ini. Walhasil, tidak ada cara lain untuk menghadapi aksi-aksi mereka selain menyatukan kekuatan dan melawannya tentu saja dilakukan dengan cara-cara damai.

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=738318
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement