Pemilihan Presiden 2014 menjadi momentum memilih pemimpin yang lebih baik untuk lima tahun ke depan. Tapi, perhelatan yang harusnya bertajuk pesta demokrasi itu ikut menyisakan dampak negatif.
Adanya dua pilihan dengan latar belakang agama Islam berdampak pada perbedaan di antara umat Muslim di Indonesia. Perbedaan ini hendaknya jangan sampai memecah belah persatuan umat.
Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Dr Adian Husaini mengatakan, larangan berpecah-belah jelas termaktub dalam Alquran surah Ali Imran ayat 103. "Dan, berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara...."
Adian melihat, tak lagi relevan terus memelihara perbedaan karena pilpres. Dengan usainya pilpres, fokus umat harusnya mengawal sang presiden terpilih kelak. "Kawal dengan memberikan tausiyah agar menjadi pemimpin yang menegakkan amar makruf nahi munkar," ujarnya. Umat Muslim dan rakyat berkewajiban menasehati pemimpinnya ketika terjadi salah langkah.
Setelah adanya pemimpin yang baru, umat harus mendukung kebijakan yang akan dibuat mereka. "Cukuplah perbedaan itu sampai ketika hari pencoblosan 9 Juli lalu," kata Adian.
Terlebih, secara verbal kedua pasangan calon ini merupakan Muslim. Kedua-duanya pun telah berjanji tidak akan merugikan umat Islam. Umat Muslim tidak lagi perlu mempermasalahkan jika calon yang didukungnya kalah. Lagi pula, sebagian besar umat Muslim di Indonesia berada di luar politik praktis.
Adian berharap, tidak ada tindakan anarkistis akibat calon yang didukungnya kalah. Ia yakin, tindakan seperti itu dapat diminimalisasi karena tingkat toleransi umat Muslim di Indonesia sudah tinggi.
Pakar Hadis Dr Ahmad Lutfi Fathullah mengatakan, saat ini banyak ditemukan suami dan istri bertengkar karena perbedaan pilihan presiden. Tak sedikit juga sahabat karib pun harus bermusuhan karena hal ini. Ditambah lagi, munculnya berbagai kampanye hitam yang sangat deras, baik di media sosial maupun dunia nyata.
Satu hal yang harus diyakini dan dijadikan acuan adalah momentum ini harus dijadikan persatuan untuk memilih pemimpin yang adil. "Ketika seorang pemimpin telah terpilih maka dia harus keluar dari satu golongan karena pemimpin yang menang artinya dia memimpin seluruh bangsa Indonesia," ujar dia.
Siapa pun pemimpinnya, tak sepatutnya umat tidak mendukung. Luthfi berpesan, perbedaan cukuplah sampai ketika umat memilih pemimpin pada 9 Juli.
Jika seseorang telah terpilih dan dia tetap mematuhi hukum Islam dalam perilaku, sewajarnya harus didukung. "Kalau pemimpin masih memperbolehkan kita untuk menjalankan shalat, puasa, zakat, dan beribadah haji, itu tidak masalah," ujar dia. Ketika umat justru tak mendukung pemimpinya dan malah terjerumus dalam perpecahan maka kerugian ada pada umat sendiri.
Namun, saat ini, Ahmad Lutfi meyakini, toleransi umat Muslim di Indonesia masih sangat tinggi. Bahkan, ada kemungkinan umat Islam akan memberi toleransi jika dipimpin oleh non-Muslim selama dia tidak memusuhi Islam.
rep:ratna ajeng tejomukti ed: hafidz muftisany