Banyak umat Islam yang berpuasa. Namun, banyak pula yang hanya mendapatkan haus dan lapar saja. Tak ada hikmah yang ia dapatkan, tak ada pahala yang ia tuai, tak ada dosa yang diampuni. Mereka inilah yang menjadi orang-orang yang merugi.
Keberkahan Ramadhan yang hanya datang setahun sekali sangat sayang jika terlewatkan begitu saja. Banyak umat Islam yang masih sibuk dengan urusan duniawi dan membiarkan Ramadhan terlewat begitu saja. Tentu segala keberkahan, rahmat, dan maghfirah yang ditawarkan Ramadhan tak akan melekat kepada mereka.
Ketika orang-orang beriman bergembira atas limpahan rahmat, kesempatan beribadah, dan peningkatan iman yang diraihnya, banyak juga yang ikut bergembira saat Hari Raya Idul Fitri. Namun, kegembiraan mereka hanyalah fiktif. Mereka sendiri tidak mengetahui secara pasti untuk apakah mereka merayakan kegembiraan tersebut. Inilah orang-orang yang tertipu dengan Ramadhan.
Hal inilah yang sangat disayangkan dari umat Islam. Sebagaimana pesan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin kepada wartawan Republika Hannan Putra. Berikut petikan wawancaranya.
Siapa yang mendapatkan ganjaran pahala yang besar dari bulan Ramadhan?
Mereka adalah orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh. Bersungguh-sungguh itu dalam artian, bukan hanya sekadar tidak makan dan tidak minum, melainkan juga dalam arti menjaga seluruh perilaku baik lahir maupun batin.
Dapat kita contohkan, mereka banyak bersedekah pada bulan Ramadhan, banyak menyantuni anak-anak yatim. Dan, diharapkan di luar bulan Ramadhan dapat dipertahankan seperti itu pula.
Jadi bisa kita lihat, ketika nanti setelah Idul Fitri nanti, sikapnya yang seperti itu tidak berubah, malah tambah baik.
Apa kriteria orang yang mendapat gelar takwa karena puasa?
Takwa itu didapatkan ketika dia bersungguh-sungguh melakukan ibadah puasa. Takwa itu ada sifatnya lahiriyah, yaitu takwa yang umum dan bisa terlihat. Seperti, tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran, melakukan seluruh kewajiban. Ada juga takwa dalam arti yang lebih khusus, hatinya sudah tidak ada lagi sesuatu yang menyimpang dalam ajaran agama. Jadi, takwa yang dalam artian khusus ini, tidak hanya anggota badan saja, tetapi juga jiwanya. Secara rohaniyah dia terjaga dari hal-hal yang dilarang.
Karena itu, takwa yang sesungguhnya, yaitu takwa jiwanya dan kemudian bisa melahirkan perilaku sosial yang baik dan positif. Kemudian dia berperilaku lebih bagus lagi, ketaatannya bertambah, dan dari segi sosial dia juga tidak lupa menyantuni orang-orang yang kurang mampu. Dia juga mempunyai solidaritas yang tinggi kepada sesama. Intinya, dia bisa menjadi peribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Apa semua orang akan kembali fitrah setelah selesai berpuasa pada bulan Ramadhan?
Kalau dia berpuasa dengan betul, berpuasa dengan mempertahankan keimanannya, artinya puasa itu memberi pengaruh kepada jiwanya, pasti dia akan mendapatkan fitrah dan ketakwaan itu.
Tapi saya rasa, tidak akan semua orang yang berpuasa itu akan mendapatkan fitrah dan mendapat ketakwaan yang sama. Sama dengan orang yang shalat. Jadi, mereka yang shalat itu tidak akan mendapatkan pengaruh yang sama. Ada orang yang shalat itu maksiatnya masih saja jalan. Tapi ada juga mereka yang shalat itu, ternyata dampak dari shalatnya bisa mencegah dari perbuatan maksiat, keji, dan mungkar.
Puasa juga begitu. Jangan diartikan puasa hanya menahan lapar dan haus saja. Tapi dia bisa menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak baik, baik lahiriyah maupun batiniyahnya. Itulah yang kemudian akan melahirkan kualitas ketakwaan dari seseorang yang melakukan puasa itu.
Bagaimana jika amalan pada bulan Ramadhan yang dilakukan seseorang tidak maksimal?
Tentu saja ini sangat berhubungan dengan takwa. Ketika pada bulan puasa itu dia tidak mengamalkan seperti yang dianjurkan, tentu ketakwaannya itu akan mempunyai pengaruh. Sehingga, ketakwaan seseorang dengan orang lain menjadi tidak sama. Ada mereka yang mempunyai ketakwaan lebih ada yang kurang, tergantung kepada kesungguhan dan upayanya mendapatkan ketakwaan itu sendiri. Tergantung pula dari proses bagaimana dia menjalankan ibadah dalam bulan Ramadhan.
Apa hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam iktikaf?
Iktikaf itu supaya kita lebih mendekatkan diri dan melakukan perenungan atas dosa-dosa, evaluasi diri, dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Kan, seperti itu yang beriktikaf.
Seorang yang beriktikaf tidak boleh keluar dari masjid. Dia harus ada senantiasa di dalam masjid. Masjid itu kan tempat yang paling dekat kepada Allah. Jadi, iktikaf itu memang untuk mendekatkan kita kepada Allah. Dia tidak keluar-keluar dan terus beribadah. Bahkan, dia terus berada dalam keadaan suci.
Di Indonesia mempunyai makna lain tentang iktikaf ini. Di Indonesia sebenarnya istilah iktikaf bukan kurang populer, sebenarnya sudah banyak kok orang yang mengenal. Cuma, tidak banyak orang yang mau mengerjakan.
Bagaimana memompa semangat agar pada akhir-akhir Ramadhan bisa lebih giat beribadah dan mengikuti iktikaf?
Pada sepuluh akhir bulan Ramadhan ini memang kita ditekankan terus oleh Nabi supaya kita mempergiat ibadah. Karena, di dalamnya ada malam Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Lailatul Qadar ini memang adanya hanya pada sepuluh akhir bulan Ramadhan itu. Nabi sendiri menganjurkan keluarganya untuk beribadah pada bulan itu.
Karenanya, memang kita harus ada semacam sosialisasi terhadap penjelasan luas kepada umat agar mereka terdorong untuk melakukan iktikaf. Kita harapkan juga, ada orang yang bisa memelopori untuk mengajak orang kepada iktikaf. Karena, sedemikian besar manfaat dan makna yang terkandung di dalam iktikaf itu. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany