Seorang pemimpin sering diistilahkan sebagai wali (wakil) Tuhan di muka bumi. Hal ini sebagai kelanjutan dari interpretasi diciptakannya manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi (QS al-Baqarah [2]: 30). Itulah alasannya, mengapa seorang pemimpin mempunyai misi rububiyah (ketuhanan) dalam memimpin. Ia bertanggung jawab membawa rakyatnya kepada Tuhan dan bertanggung jawab pula di hadapan Tuhan akan rakyat yang ia pimpin.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan menjelaskan, pemimpin bertanggung jawab secara penuh bagi rakyatnya. Itulah kewajiban paling pokok seorang pemimpin. Ketika lalai dari kewajiban pokoknya itu, ia bisa dikatakan telah zalim.
"Di dunia sekuler saja kita lihat, ketika ada tabrakan kereta api, seperti di Jepang, itu menterinya mengundurkan diri karena merasa tidak bertanggung jawab mengurus transportasi. Di negara kita belum terbiasa seperti itu," ujar Amidhan kepada Republika, Selasa (26/8).
Kewajiban seorang pemimpin juga harus sejalan dengan haknya. Menurut Amidhan, ketika seorang pemimpin sudah mejalankan kewajibannya, ia berhak mendapatkan haknya. "Ia (pemimpin) berhak untuk didukung oleh rakyat. Ketika kewajibannya sudah ia tunaikan, rakyat tidak boleh memberontak. Ketika ia melaksanakan kewajibannya sesuai undang-undang dan konstitusi, ia mempunyai hak untuk didukung," katanya memaparkan.
Sebaliknya, hak dari rakyat kepada pemimpin, ketika pemimpin tidak menunaikan kewajibannya maka rakyat berhak untuk mengkritisi. "(Hak dan kewajiban antara rakyat dan pemimpin) ini ada sangkut pautnya. Apa yang menjadi kewajiban pemimpin tidak bisa direalisasikan maka itu menjadi hak bagi rayat untuk mengkritisinya," ujarnya.
Amidhan mengharapkan, semoga saja pemimpin baru republik ini bisa menyelaraskan perkataan dan perbuatannya. "Janji-janji ketika pemilu dulu harus direalisasi. Selama ini selalu manis, ketika nanti sudah terpilih, ternyata tidak semudah ketika membuat janji. Mengapa? Karena, semua itu kan tidak dilaksanakan di ruang kosong," katanya.
Menurut Amidhan, akan banyak kesulitan dari presiden baru dalam merealisasikan janji-janji pemilunya itu. Salah satunya, karena presiden baru harus menggunakan APBN yang dibuat dan digunakan presiden lama. "Memang mekanismenya begitu. Supaya pemimpin itu harus satu kata dengan perbuatan," ujarnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Maksum Machfoedz menambahkan, ada dua faktor yang menjadi kewajiban bagi seorang pemimpin, yakni faktor kemaslahatan yang berhasil ia bangun dan faktor fungsinya sebagai payung bagi rakyat. "Pemimpin itu adalah wakil Allah di muka bumi, ia menjadi payung dan tempat mengadu orang-orang yang teraniaya," katanya tegas.
Dalam filosofi Nahdlatul Ulama, ada lima butir yang menjadi pondasi bagi seorang pemimpin. Ia menyebutkan, kelima butir itu, yakni shiddiq (benar), amanah, ta’awun (mampu bekerja sama), ’adalah (adil), dan istiqamah (konsisten). Maksum menyebut seorang pemimpin harus memiliki kelima butir pondasi tersebut
Namun, ibaratnya bangunan, tidak cukup hanya memiliki pondasi saja. Perlu ada bangunan-bangunan lain yang berdiri di atas pondasi tersebut. Integritas dan berbagai kecakapan lainlah yang harus dibangun di atas pondasi itu.
"Pemimpin negara tidak cukup hanya orang jujur, tapi orang yang bisa menjujurkan masyarakat. Kita butuh yang lebih dari sekadar jujur, yang bisa menciptakan nilai-nilai (dalam lima butir tadi) sebagai watak masyarakat. Itu yang kita sebut iqamatul sidqi (mendirikan sifat kejujuran), yakni dengan membudayakan shiddiq itu dalam pemerintahan yang amanah," katanya memaparkan.
Peran ulama
Umara’ (penguasa) dan ulama harus senantiasa sejalan. Para ulama harus mendukung umara’ ketika mereka sudah menegakkan lima butir yang disyaratkan tadi. Kemudian mengawasi umara’ jika ditemui adanya penyimpangan.
"Kita (ulama) harus menghargai ketika mereka mampu menegakkan lima butir atau pilar tadi pada tingkat masyarakat hingga parlemen. Posisi ulama sangat jelas. Moga mereka senantiasa mengingatkan lima butir itu. Mereka (umara’) punya utang banyak dengan ulama. Kemarin yang banyak berkampanye kan kiai, kalau mereka macam-macam, musuh besarnya adalah para ulama," katanya berpesan.
Sebagaimana dipesankan jua oleh Amidhan, para ulama juga mempunyai kewajiban kepada umara’ (penguasa), yakni mendukung dan mengontrol. "Ulama jangan melepaskan kewajibannya. Ulama juga tidak boleh menyatu begitu saja, dalam artian ia hanyut dalam kekuasaan. Ulama seperti itu masuk kategori ulama su’u (ulama buruk).
Ketua umum PP Persis KH Maman Abdurrahman menambahkan, kebersamaan pemerintah dengan para ulama merupakan suatu keniscayaan. Seperti definisi ulil amri yang diterangkan dalam Alquran surat an-Nisa’ ayat 59, ulil amri terdiri atas dua golongan, yakni ulama dan umara’. "Dalam membangun negara ini, ulama dan umara’ harus ada kebersamaan. Karena tujuan dari dibangunnya negara ini adalah untuk memelihara agama dan mengatur dunia," ujarnya.
Dalam Alquran ditegaskan, negara yang sukses disebutkan mempunyai dua ciri, yakni baldah thayibah (negeri yang baik) dan rabbun ghafur (dirahmati dan diampuni Tuhan). "Kalau baldah thayibahnya sudah subur makmur, itu sudah oke. Tetapi, untuk menjadikan rabbun ghafur, perlu pertolongan dan andil dari ulama. Jadi, kepada pemimpin yang baru ini, sering-seringlah meminta nasihat kepada para ulama."
Menurut KH Maman, merupakan kewajiban bagi seorang ulama untuk memberikan nasihat dan bimbingan. Demikian juga, dengan kewajiban pemimpin untuk meminta bimbingan dan berkonsultasi dengan para ulama. "Kewajiban negara itu bukan hanya memberi makan dan minum, tetap yang paling utama adalah berkonsultasi dengan para ulama," katanya. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany