Ada keberpihakannya pada institusi ekonomi Islam yang sudah ada, seperti pembayaran dan transaksinya melalui bank syariah. Kemudian, menunaikan zakat kepada lembaga resmi.
Kenikmatan dunia diperuntukkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Merekalah yang dipercaya sebagai khalifah yang akan memimpin bumi. Tentu saja, Allah SWT menjamin kelimpahan nikmat dan rezeki untuk hamba yang dekat dengan-Nya. Inilah yang ditegaskan dalam firman Allah SWT, "Kalaulah sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS al-A’raf [7]: 96).
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Irfan Syauqi Beik mengatakan, seorang Muslim diperintahkan untuk menjadi khalifah yang akan memakmurkan bumi. Allah mewariskan bumi dengan segala isinya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para khalifah-Nya. Inilah alasannya, mengapa setiap Muslim diperintahkan untuk produktif mengolah bumi.
"Dunia ini tidak akan bisa dikuasai umat Islam kalau mereka tidak bekerja secara produktif. Mengembangkan kerangka bisnis merupakan pilihan yang harus kita lakukan. Sektor riil ini harus terus kita gerakkan karena inti dari masalah ekonomi merupakan sektor riil," ujar Irfan kepada Republika, Senin (22/9).
Menurut Irfan, kemandirian seorang Muslim akan cepat terwujud dengan berbisnis. Umat Islam harus bisa mandiri, bahkan memberikan manfaat dengan menggerakkan roda perekonomian bagi orang di sekelilingnya. "Tingkat ketergantungan kepada pihak lain relatif bisa diminimalisasi. Karena, bagi pengusaha Muslim ketergantungan itu kepada Allah," kata staf ahli Baznas ini.
Irfan menyebut bangkitnya perekonomian Islam terletak di pundak pengusaha Muslim. Mereka diharapkan bisa menjadi pionir yang memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain. Dalam hadis disebutkan, "Sebaik-baik manusia adalah ia yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain." (HR Thabrani dan Daruquthni).
Hadis inilah, Irfan memaparkan, yang mesti menjadi spirit bagi pengusaha Muslim. Motivasi berbisnis seorang Muslim untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang di sekitarnya.
Selain motivasi untuk menebar manfaat, seorang pengusaha Muslim harus menguasai pengetahuan syariah mendasar tentang prinsip Islam dalam berbisnis. Irfan mengatakan, kendati ilmu-ilmu Islam yang dikuasai tidaklah mendalam, kaidah fikih muamalah secara umum, seperti bagaimana Islam menuntun seseorang dalam berbisnis, haruslah dikuasainya. "Dia harus tahu ilmu mendasar dari fikih muamalah dan konsep halal haramnya. Apa yang haram dan dilarang, baik haram secara proses maupun secara zatnya. Faham bagaimana jual beli yang cacat seperti riba," ujarnya.
Pengetahuan dasar mengenai fikih muamalah ini sangat mudah didapatkan. Baik melalui ceramah, bertanya langsung kepada ulama, maupun buku-buku bacaan. "Memahami fikih muamalah bagi pengusaha ini tidak harus detail dan mendalam. Yang penting, dia tahu secara general principle atau kaidah pokoknya," katanya memaparkan.
Karakter pengusaha Muslim juga dilihat dari keperpihakannya pada institusi yang juga memperjuangkan Islam. "Pengusaha Muslim mestinya dekat dengan gerakan dakwah," ujarnya. Demikian juga, untuk mengurus keuangannya, mereka memercayakannya kepada bank-bank syariah. "Ini yang terpenting, ada keberpihakannya pada institusi ekonomi Islam yang sudah ada. Seperti, pembayaran dan transaksinya melalui bank syariah. Kemudian, menunaikan zakat kepada lembaga resmi," ujarnya.
Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Dr Adiwarman Karim mengatakan, konsep berbisnis dalam Islam mengandung tiga komponen. "Yaitu, takhalli, tahalli, dan tajalli," katanya.
Takhalli adalah mengeluarkan yang buruk dalam diri. Contohnya, dalam hidup seorang Muslim harus jujur. Sedangkan, tahalli bermakna bagaimana mengisi diri dengan yang baik. Implementasinya, jujur saja ternyata tidak cukup, tetapi harus cerdas. Tajalli adalah memolesi diri dengan keindahan, yaitu akhlakul karimah. "Tiga komponen ini yang harus dijalani kalau kita bisnis," ujar Adiwarman kepada Republika.
Setiap Muslim yang ingin berbisnis harus bisa memperjuangkan ketiga aspek tersebut dalam setiap gerak usahanya. "Kita merupakan bagian dari Indonesia, jadi kita tidak bisa bilang sistem ekonomi yang di Indonesia ini cocok atau tidak cocok dengan kita. Kita harus bisa mewarnai sistem bisnis ini. Kita harus yakin bahwa berbisnis dengan jujur, cerdas, dan berakhlakul karimah itu bisa di sini. Dalam praktiknya memang tidak gampang, tapi ini tantangannya," katanya menjelaskan.
Menurut Adiwarman, ada tiga hal yang akan menjadi penghalang dalam bisnis, yaitu customer, competitor, dan company. Ketiganya harus bisa diwarnai dengan tiga komponen Islam tadi. "Dalam bisnis, kita tidak hanya menghadapi customer. Kalau itu gampang, kita bisa perlihatkan jujur, cerdas, dan berakhlakul karimah. Tapi, ada juga competitor yang akan menjatuhkan kita," ujarnya.
Adiwarman memberi pesan, ketika pesaing bisnis berlaku tidak jujur, jangan pula terbawa arus untuk membalas dengan hal yang sama. Mungkin dengan cara tidak jujur, dalam jangka pendek orang yang jujur akan kalah. Namun, sebenarnya orang yang jujur akan menang untuk jangka panjang.
"Mereka yang tidak jujur akan ditinggalkan customer. Dalam jangka panjang, mereka yang tidak jujur itu yang akan kalah," katanya. Betapa banyak bukti perusahaan yang kredibel dan bertahan dengan kejujuran bisa bertahan lama. Dalam jangka panjang orang yang jujur tidak perlu di khawatirkan.
Penghalang bisnis selanjutnya, yakni company (pemerintah). Menurut Adiwarman, terkadang oknum pemerintah bisa menjadi penghalang dalam bisnis. Seperti, mengurus perizinan yang mandek, pajak, dan masalah lainnya. Seorang pengusaha Muslim harus memperlihatkan kejujuran, kecerdasan, dan akhlakul karimahnya dalam berinteraksi dengan pemerintah. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany