REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum wafat, KH Ahmad Dahlan sempat berpesan kepada para sahabatnya. Sang pendiri Muhammadiyah berwasiat agar tongkat kepemimpinan organisasi ini, sepeninggalnya kelak, diserahkan kepada KH Ibrahim. Mereka yang menyimak pesan ini setuju. Sebab, reputasi adik ipar Kiai Ahmad Dahlan itu tak perlu diragukan lagi.
Mendengar kabar demikian, mula-mula KH Ibrahim menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat sang pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya ia bisa menerima wasiat tersebut.
Pada Maret 1923, kepemimpinan KH Ibrahim dikukuhkan dalam rapat tahunan anggota Muhammadiyah. Kedudukannya sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (kini disebut Pimpinan Pusat Muhammadiyah).
Merujuk pada buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, KH Ibrahim lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 7 Mei 1874. Ia adalah putra KH Fadlil Rachmaningrat, penghulu hakim Kesultanan Yogyakarta pada era Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Secara nasab, dirinya merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Pernikahan pertamanya berlangsung pada 1904 dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman. Namun, wanita tersebut tak berusia panjang. Selang beberapa waktu kemudian, Ibrahim menikah dengan Moesinah, yakni adik kandung dari almarhumah istri pertamanya. Nyai Ibrahim yang kedua itu dikaruniai usia yang cukup panjang, sampai 108 tahun. Moesinah gemar mendirikan shalat malam dan menyambung silaturahim.
Ketokohan KH Ibrahim ditunjang oleh ketekunan dan kealiman yang dipupuknya sejak dini. Ia menjalani masa kecil sebagai seorang penuntut ilmu. Sebelum akil balig, dirinya sudah menjadi penghafal Alquran.
Saat berusia 17 tahun, Ibrahim berangkat ke Tanah Suci. Bukan hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga menuntut ilmu di sana. Setelah kira-kira delapan tahun, barulah ia kembali ke Tanah Air. Kepulangannya sekaligus untuk merawat ayahanda yang sudah sepuh.
Memimpin Muhammadiyah