Jumat 02 Oct 2015 13:00 WIB

Haid tidak Lancar, Bagaimana Hukumnya?

Red:

Sebahagian wanita ada yang mengalami siklus haid tidak teratur. Disebabkan kondisi tubuh yang tidak stabil atau sakit, wanita bisa saja dalam beberapa bulan tidak haid. Misalkan, setelah melahirkan yang mungkin saja haid baru datang setelah enam bulan. Ada pula yang mengalami masa haid yang sudah berhenti, namun selang beberapa hari darah tersebut keluar lagi. Padahal, masih dalam satu fase haid dan pada bulan yang sama. Dalam kondisi tersebut, bagaimana shalat mereka?

Wanita yang mempunyai siklus haid teratur diistilahkan dengan mu'taadah. Walau setiap wanita berbeda-beda masa haidnya, masa siklus haidnya tetap sama. Misalnya, setiap masa haid ia mengalami haid selama enam hari, tujuh hari, dan seterusnya. Cara menyimpulkannya dengan mengalkulasikannya selama tiga kali haid. Jika lamanya haid selalu stabil dan teratur, ia tergolong pada wanita mu'taadah.

Siklus wanita mu'taadah inilah yang disepakati ulama fikih. Jika darah haidnya telah yakin berhenti, kewajiban shalat langsung dibebankan kepadanya. Di hari akan berakhirnya masa haid, si wanita harus teliti dengan darah haidnya agar tidak melalaikan shalat. Jika darah haidnya sudah berhenti, ia harus segera mandi dan mendirikan shalat.

Yang menjadi perbedaan ulama adalah wanita yang tidak memiliki siklus haid teratur. Wanita seperti ini pada dasarnya dianjurkan untuk berobat agar bisa menjalani siklus haid sesuai fitrah kaum wanita. Dari segi kesehatan, haid yang tidak teratur bisa menjadi indikasi adanya gangguan reproduksi. Dari segi fikih, ia akan mudah menentukan masa suci dan haid yang bersangkutan dengan ibadahnya.

Beberapa kasus haid tidak teratur seperti wanita yang awalnya memiliki masa haid teratur, namun di fase berikutnya tidak teratur lagi. Ada yang mengalami berhentinya haid di tengah-tengah waktu kebiasaan. Setelah ia bersuci ternyata keluar lagi. Ada pula yang darahnya masih keluar, padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid.

Persoalan ini menuai berbagai pendapat para ulama fikih. Dalam Mazhab Hanafi, istilah mu'taadah berpatokan pada kebiasaan masa haid. Di luar kebiasaan tersebut, darah yang keluar adalah istihadhah. Darah istihadhah tetap mewajibkan wanita untuk shalat dan tidak menghalanginya untuk beribadah. Istihadhah bisa disebabkan penyakit dan tidak akan berhenti mengalir sampai sembuh.

Mazhab Hanafi juga meyakini, darahnya yang keluar setelah masa kebiasaan haid termasuk darah istihadhah. Misalnya, bila ada wanita terbiasa haid tujuh hari setiap bulannya. Kemudian, pada satu masa haid selanjutnya darahnya masih tetap mengalir. Maka, darah yang keluar setelah hari ketujuh tersebut dianggap istihadhah.

Namun, jika masa haid si wanita lebih dari 10 hari setiap bulannya, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa haid hanya 10 hari pertama. Darah yang keluar pada hari ke-11 dan selanjutnya juga dihukum istihadhah. Mazhab Hanafi berdalil dari kebiasaan kaum wanita yang mana haidnya tidak akan lebih dari 10 hari 10 malam.

Bagaimana jika darah haid terputus di tengah-tengah masa haid kemudian keluar lagi? Menurut Mazhab Hanafi, darah yang keluar kedua juga dianggap darah haid, bukan istihadhah. Namun, tetap berpatokan pada kaidah masa haid 10 hari. Jika darah kedua lewat dari 10 hari, hari ke-11 kembali dihukum istihadhah.

Pada masa haid tersebut terputus, Mazhab Hanafi tetap mewajibkan shalat bagi wanita. Misalkan, haid dimulai tanggal 1-4 lalu darahnya berhenti pada tanggal 5-6. Tanggal 7-9 darah tersebut keluar lagi. Wanita tetap diwajibkan shalat pada tanggal 5-6 saat darah berhenti.

Sedangkan, menurut Mazhab Maliki, apabila darah keluar pada hari pertama lalu terputus kemudian keluar lagi, darah yang pertama dan kedua dianggap satu fase darah haid. Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau tidak berhenti lebih dari 15 hari. Karena, menurut mazhab ini, masa suci minimal adalah 15 hari. Sama seperti Mazhab Hanafi, ketika haid terputus selama beberapa hari ini si wanita tetap diwajibkan shalat.

Secara umum, Mazhab Hanafi dan Maliki hampir sama soal terputusnya darah di tengah-tengah masa haid. Perbedaannya, Mazhab Hanafi menyebut minimal masa haid adalah tiga hari dan maksimal 10 hari. Sedangkan, Mazhab Maliki berpendapat minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan maksimalnya adalah 18 hari bagi mu'taadah dan 15 hari bagi yang bukan mu'taadah.

Dalam Mazhab Syafi'i, masa haid yang terputus tetap dianggap sebagai satu rangkaian masa haid. Syaratnya, sejak pertama darah keluar hingga habisnya darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid, yakni 15 hari. Mazhab Syafi'i juga mensyaratkan darah pertama keluar sudah mencapai waktu sehari semalam. Demikian diterangkan dalam kitab Mughni al-Muhtaj (1/119).

Contohnya, seorang wanita mengalami haid pada tanggal 1-4, kemudian darah terputus pada tanggal 5-7. Haidnya kembali keluar tanggal 8-12. Maka, dari tanggal 1 sampai 12 dianggap keseluruhnya dalam keadaan haid. Artinya, ia tidak perlu shalat ketika haidnya terputus.

Sedangkan, dalam Mazhab Hanbali, apabila darah haid wanita berhenti, baik karena terputus maupun tidak, ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci. Dan jika darahnya keluar lagi, berarti ia kembali haid dan tidak boleh melaksanakan shalat. Demikian diterangkan dalam kitab al-Kaafi (1/186). Wallahu a'lam. Oleh Hannan Putra ed: Hafidz Muftisany

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement