Tak semua orang dapat menikmati pendidikan di perguruan tinggi. Banyak juga di antara mereka yang berhasil masuk, harus merasakan tingginya biaya di lembaga ini. Itulah yang dirasakan oleh dua pemuda, Rulli Indrawan dan Usman Rudiantoro.
Rulli pernah tercatat sebagai mahasiswa jurusan Teknik Informatika Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta selama empat tahun, sementara Usman dulu mahasiswa jurusan Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM). Keduanya bertemu ketika bekerja di salah satu pesantren di Yogyakarta.
Rulli mengikuti saran Usman untuk memperdalam ilmu komputer dan teknik informasi dengan terjun langsung ke dunia teknologi. Ia bekerja sama dengan Usman menjalankan usaha bernama Software House. Tak lama kemudian, ia dan Usman juga mengembangkan website bernama jasaprogrammer.com.
Pada 2013 mereka mendapat tamu istimewa, tiga orang mahasiswa praktik kerja lapangan (PKL) dari Universitas Andals (Unand). Ketiga mahasiswa ini menetap bersama mereka selama tiga bulan.
Dengan modal pengalaman selama bekerja menjadi guru komputer di pesantren, Rulli dan Usman memberikan materi tambahan kepada anak-anak PKL tersebut. Tak hanya belajar komputer, mereka juga diajak mengikuti taklim dan sejumlah kegiatan ibadah lainnya.
Kebiasaan yang dikembangkan selama tiga bulan terasa bermanfaat. Namun, ini tak bisa berlangsung lama. Setelah tiga bulan selesai, para mahasiswa itu pulang dan melanjutkan kuliah di Unand.
Rulli dan Usman ingin meneruskan pengalaman baik ini. Muncul ide untuk membuat pendidikan programmer gratis. Harapannya, para santri yang lulus dari program ini dapat mandiri.
"Pendidikan programmer di Indonesia tuh masih relatif kurang baik," ujar Rulli saat dihubungi Republika, Selasa (5/1).
Mempertimbangkan potensi besar pada diri para pemuda, tercetus ide untuk mencetak pendidikan gratis untuk programmer dengan polesan kultur pesantren. Shalat lima waktu, tilawah, hafalan Alquran, dan taklim mewarnai kegiatan harian para peserta didik selain pembelajaran komputer.
Pendirian pesantren ini tak lepas dari dilema. Rulli dan Usman mengawali pendanaan pesantren ini dari berbagai proyek yang mereka kerjakan di Jasaprogrammer.com. Mulai dari ratusan ribu rupiah, kini proyek-proyek yang dipegang oleh Rulli dan para santri telah mencapai puluhan juta. Dari sinilah, kegiatan pondok dibiayai secara swadaya.
Rulli awalnya tak menyangka upaya kecil yang ia lakukan dapat berlanjut hingga tahun ketiga. Ia sempat meragukan kemampuannya sebagai anak muda untuk mewujudkan pendirian pesantren ini. Tak hanya diri sendiri, keluarga pun ikut meragukan.
Rulli bahkan sempat menghadapi kecurigaan dari masyarakat yang belum memahami tujuan mereka. "Tuduhannya dianggap aliran sesat, dianggap memperalat anak-anak," ujar dia.
Seiring waktu, hasil pendidikan di Pesantren Programmer mulai tampak. Masyarakat mulai melihat manfaat yang diperoleh dari proses pendidikan yang berjalan di lembaga ini. Dukungan juga muncul dari beberapa perusahaan.
Pesantren Programmer diharapkan dapat berkembang menjadi komunitas berbasis pondok yang mengutamakan profesionalitas, akhlak yang baik, dan kesejahteraan bersama. Berawal dari tiga orang mahasiswa, kini pesantren ini memiliki 26 peserta didik. Jumlah peserta di tiap angkatan berbeda-beda sesuai dengan dana yang ada.
Peminat pendidikan gratis di Pesantren Programmer terus meningkat. Rulli mulai harus menyeleksi beberapa di antara ratusan pendaftar. Dari tes online, wawancara via telepon, calon santri akhirnya mendapatkan tes di lokasi Pesantren Programmer, Glondong RT 06, Wirokerten, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi santri di Pesantren Programmer. Para pendaftar hendaknya laki-laki berumur tak lebih dari 23 tahun dan berstatus lajang. Mereka wajib mendapatkan izin dari orang tua dan memiliki akhlak yang baik. Proses pendidikan selama dua tahun juga menuntut mereka untuk tinggal di pesantren. Demi kemudahan dalam proses pendidikan, para santri juga diharapkan memahami tentang koneksi jaringan.
Rulli mengaku, Pesantren Programmer pernah memutus pendidikan tiga orang peserta didiknya. Ada yang tidak mendapat izin orang tua, ada yang mengaku lajang, padahal telah beristri, ada pula yang tak sanggup menetap di pesantren.
Teknologi terus berkembang dengan cepat. Oleh karena itu, dalam pembelajarannya, Rulli dan Usman hanya memberikan ilmu-ilmu dasar. Para santri diberikan kebebasan untuk belajar dari sumber lain secara otodidak maupun dengan bimbingan para senior.
Setiap harinya, para santri dilarang membuka laptop sebelum jam 06.00 WIB. Walau tak diwajibkan shalat malam, mereka dianjurkan melakukan ibadah sejak bangun tidur. Selain shalat wajib, ada yang membaca Alquran, memperkaya hafalan, dan sebagainya. Coding dimulai dari pukul 06.00 WIB hingga 09.00 WIB. Setelah itu, mereka mendapatkan makanan ringan dan makan besar, lalu tidur hingga waktu Zhuhur.
Pada Senin dan Kamis para santri melakukan puasa sunah. Sembari menunggu berbuka, mereka mendapatkan taklim dan pelajaran bahasa Arab. Pada hari-hari lain, mereka diajak melakukan olahraga.
Melihat hasil positif yang telah dicapai, Rulli berharap model pesantren ini dapat dikembangkan ke berbagai daerah. n ed: hafidz muftisany