Berita yang dimuat Republika, Rabu (8/10), berjudul "Pemerintah Usulkan UN Online" merupakan berita yang sangat menarik untuk dibahas. Dalam berita tersebut disampaikan bahwa pemerintah mengusulkan UN online untuk tahun pelajaran 2014/2015 nanti. Hal ini sangat antagonis antara kebijakan penerapan kurikulum dengan evaluasi pembelajaran.
Kebijakan penerapan kurikulum yang berlaku pada tahun pelajaran 2014/2015 saat ini ialah Kurikulum 2013. Ciri utama Kurikulum 2013 ialah sangat menekankan proses dalam pembelajaran, bukan berorientasi pada hasil (terutama aspek kognitif). Namun, berdasarkan berita tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah malah mengusulkan UN online. Hal itu sangat berseberangan.
Berseberangan karena bagaimanapun juga UN ialah evaluasi pembelajaran yang sangat berorientasi pada hasil, terutama aspek kognitif. Artinya, dalam UN yang penting hasil, bukan proses. Terserah bagaimanapun prosesnya, yang penting nilai memenuhi standar atau batas kelulusan. Itulah ciri khas dari UN yang sudah tidak bisa disanggah lagi serta sangat berlawanan dengan karakteristik Kurikulum 2013.
Berdasarkan fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme pendidikan semakin merajalela. Ciri khas dari kapitalisme pendidikan ialah selalu "melihat ke atas" dan cenderung enggan "menatap ke bawah". Dampaknya ialah di satu sisi terjadi kemajuan pendidikan di wilayah tertentu, tetapi di sisi lain tidak terjadi kemajuan pendidikan (bahkan mungkin kemunduran) di wilayah lain.
Seperti yang diceritakan dalam berita tersebut, pemerintah melakukan pendataan sumber daya pendukung pelaksanaan UN online di daerah yang sudah maju pendidikannya, yakni komputer dan jaringannya. Itulah bukti selalu "melihat ke atas", sehingga meskipun sarana prasarana pendidikan yang paling dasar sudah terpenuhi, di daerah yang sudah maju pendidikannya, pemerintah akan tetap berkata kurang apabila tidak ada sumber daya pendukung pelaksanaan UN online, yakni komputer dan jaringannya.
Padahal jika kita wawancarai para peserta program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T), pasti jawaban mereka sangat memprihatinkan karena ketersediaan sarana-prasarana pendidikan sangat minim di daerah 3T. Bahkan, sarana-prasarana pendidikan yang paling dasar saja belum terpenuhi. Nah, itulah yang sering kali diabaikan oleh pemerintah, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah cenderung enggan "menatap ke bawah".
Kalau ternyata kondisi sarana-prasarana pendidikan yang ada di daerah 3T masih sangat memprihatinkan, untuk apa pemerintah malah mengusulkan UN online? Untuk apa pemerintah melakukan pendataan sumber daya pendukung pelaksanaan UN online di daerah yang sudah maju pendidikannya, yakni komputer dan jaringannya? Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan kondisi sarana-prasarana pendidikan yang ada di daerah 3T.
Jika pemerintah terus-menerus "melihat ke atas" dengan alasan demi kemajuan sambil enggan "menatap ke bawah", maka: 1) pendidikan di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan secara menyeluruh bagi bangsa Indonesia; 2) jurang ketimpangan antara pendidikan di daerah 3T dengan non-3T dalam bidang pendidikan akan semakin lebar dan dalam. Oleh karena itu, alangkah lebih bijaksana dan arif apabila pemerintah tidak mengusulkan UN online, tetapi memikirkan bagaimana memajukan pendidikan di daerah 3T.
Oleh Ricky, Guru SMA Sayati Kidul 1, Kabupaten Bandung, Jawa Barat