JAKARTA — Sejumlah pihak menaksir harga jual Bank Mutiara sangat rendah dari harga penyelamatannya yang mencapai Rp 8,021 triliun. Secara psikologi pasar, Bank Mutiara dianggap tidak menjanjikan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, harga PT Bank Mutiara Tbk tidak melebihi nilai yang telah diberikan oleh lembaga penjamin simpanan (LPS). Ia memperkirakan harga bank tersebut maksimal hanya Rp 4 triliun. "Cara menghitungnya adalah rata-rata price to book value perbankan nasional ditambah 10 persen. Rasanya hanya Rp 3 triliun sampai Rp 4 triliun," katanya, Senin (16/6).
Ia menilai, LPS terlalu muluk dengan menunggu sampai batas waktu penjualan Bank Mutiara demi mendapatkan harga yang tinggi. Padahal, bank bermasalah ini bisa dijual jauh sebelum jatuh tempo. Faisal menambahkan, lima tahun pertama tidak ada investor yang ingin membeli Bank Mutiara karena berharap harganya akan disesuaikan harga pasar.
Hal ini berarti harganya lebih murah dibandingkan dengan nilai penyelamatan atau bailout dari LPS. Sebaliknya, LPS menginginkan harga tinggi karena sudah terlalu banyak dana yang keluar untuk Bank Mutiara. Undang-undang pun ikut membelenggu untuk meminimalisasi kerugian. "Hampir mustahil bank bobrok dijual minimal sama dengan penyertaan modal sementara (PMS)," katanya.
Pada awalnya, ongkos penyelamatan Bank Mutiara lebih murah dibandingkan jika bank ini ditutup. Namun, karena lambatnya penjualan inilah yang membuat ongkos semakin membengkak. Apalagi, akhir tahun lalu, LPS kembali menyuntikkan modal. Hal ini disebut Faisal sebagai ongkos dari penundaan atau delay.
Pembelian pun, menurutnya, bisa dilakukan tanpa uang tunai, misalnya, dengan obligasi rekap. Hal ini bertujuan agar dana bank tersebut tetap bisa dipakai untuk ekspansi. Salah satu bank milik pemerintah memiliki cukup banyak obligasi rekap yang bisa diserahkan untuk proses pembelian. Pembelian oleh bank nasional dinilainya sejalan dengan misi regulator yang menginginkan konsolidasi perbankan.
Pengamat ekonomi Universitas Padjadjaran Kodrat Wibowo mengatakan, secara psikologi pasar, Bank Mutiara tidak menjanjikan. Apalagi, industri perbankan yang sedang tidak dalam kondisi terbaik. Kinerja Bank Mutiara pun tidak cemerlang.
Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A Prasetyantoko mengatakan, LPS seharusnya tidak perlu takut rugi dalam menjual Bank Mutiara. Dana bailout tidak selayaknya harus balik modal. "Pengalamannya, dana pemulihan perusahaan biasanya hanya 30 persen secara rerata," katanya.
Hal ini terjadi pada krisis 1998 ketika pemerintah memberikan bailout besar-besaran kepada perbankan yang sakit. Tidak ada yang dana pemulihannya lebih dari 40 persen. Sayangnya, LPS tidak memiliki keberanian karena masalah Bank Mutiara telah merembet ke masalah hukum.
Dia pun mengingatkan, meskipun harus dijual dalam waktu cepat, sebaiknya bank tersebut tidak dijual ke pihak asing. Hal ini mengingat peran asing dalam perbankan nasional semakin tinggi. Sejauh ini, dari tujuh investor yang menyatakan minatnya untuk membeli bank tersebut, lima di antaranya merupakan investor asing.
LPS wajib menjual seluruh saham Bank Mutiara paling lambat tahun ini. LPS berharap proses divestasi bank tersebut bisa beres pada 18 November dan dijual dengan harga yang sesuai. "Kami belum akan mengekspos harga dasar penjualan. Akan kami jaga dan dibuka saat penawaran final nanti," ujar ahli kebijakan strategis dan penanganan bank LPS Poltak L Tobing.
rep:satya festiani/friska yolanda ed: fitria andayani