JAKARTA — Kementerian Pertanian (Kementan) meminta Perum Bulog untuk menggenjot produksi beras hingga akhir tahun. Upaya ini agar Indonesia tak mengimpor beras reguler.
"Kita maunya tidak impor, jadi ini dikembalikan kepada Bulog," kata Menteri Pertanian (Mentan) Suswono, Senin (14/7). Pemerintah memberi ruang pada Bulog untuk impor beras reguler. Impor ini untuk mengisi gudang Bulog agar tak kosong, mengingat adanya gangguan cuaca. Pada akhir tahun, cadangan beras Bulog harus tersedia 1,5 juta ton untuk operasi pasar.
Izin impor beras ini, menurut Suswono, bersifat fleksibel. Bulog diharapkan tetap memprioritaskan pengadaan beras dari sumber domestik. Jumlah beras yang diimpor Bulog diyakininya tak lebih dari 500 ribu ton. Negara pengimpor beras ke Indonesia, yaitu Vietnam, Thailand, dan India.
Untuk meningkatkan produksi beras, pemerintah meningkatkan luas lahan pertanian. Hal ini, menurutnya, harus diprioritaskan pemerintahan mendatang. Ia mengatakan, sedikitnya dua juta hektare (ha) lahan pertanian baru harus dicetak pada awal kabinet mendatang. Indonesia masih mempunyai potensi meraih kemandirian pangan.
"Dua juta hektare lahan baru sudah memadai. Tapi, lebih baik jika seluas-luasnya," ujarnya. Badan Pertanahan Nasional (BPN), kata Mentan, melaporkan keberadaan 7,2 juta ha lahan yang terindikasi telantar. Sebanyak 4,8 juta ha di antaranya cocok untuk ditanami produk pangan.
Prioritas selanjutnya setelah pencetakan lahan, yakni realisasi reformasi agraria. Hal itu perlu diwujudkan agar petani pangan juga sejahtera dan sumber daya produksi tidak makin tipis.
Masalah utama lahan pertanian, menurutnya, penguasaan lahan petani hanya sekitar 0,5 ha dan saluran irigasi yang tidak memadai.
Agar reformasi agraria terwujud maka harus didukung politik anggaran yang memadai. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Mentan, membangun pondasi infrastruktur pertanian yang kuat dengan menelurkan beberapa peraturan, salah satunya Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyatakan, reformasi agraria lazim dilakukan di negara manapun. Khusus untuk Indonesia, presiden pertama RI Sukarno pun menggagasnya medio 1960. Namun gagal karena ketiadaan uang. rep:meiliani fauziah ed: fitria andayani