oleh:Nur Hasan Murtiaji -- “Suatu hari bakal terjadi perang besar Eropa yang muncul dari hal-hal bodoh lagi terkutuk di Balkan.” Kanselir Jerman Otto von Bismarck menyampaikan prediksi itu pada 1888 dan 26 tahun kemudian ramalannya terbukti.
Sabtu pagi,28 Juni 1914 Pangeran Franz Ferdinand dan istri Putri Sophie, berada di Sarajevo, ibu kota Provinsi Bosnia-Harzegovina, wilayah Kekaisaran Austria-Hungaria.
Ahli waris takhta Kekaisaran Austria-Hungaria itu sedang melakukan kunjungan ke wilayah yang sedang menjadi pusat konflik di Eropa.
Bosnia masuk wilayah Austria-Hungaria, tapi diklaim sepihak oleh Serbia. Jim Garome dari American Forces Press Service menuliskan, sejumlah penasihat keamanan Pangeran Ferdinand sebenarnya telah menyarankan agar tak mengunjungi Sara jevo yang menjadi sarang nasionalis Serbia.
Apa yang terjadi kemudian? Ketika rombongan sang Pangeran melintasi pusat kota, beberapa anggota kelompok yang menamakan dirinya sebagai the Black Hand melemparkan granat ke iringiringan mobilnya. Granat itu meledak dan melukai sejumlah pengiring di belakang mobil Pangeran Ferdinand.
Sang Pangeran dan istrinya spontan menjenguk mereka yang terluka. Sejenak di rumah sakit, rombongan Pangeran melanjutkan perjalanan. Tak beberapa lama berjalan, kendaraan yang ditumpangi Pangeran mogok, tepat di depan Gavrilo Princip, anggota the Black Hand.
Melihat itu, Princip mende kati mobil Pangeran lalu menembakkan pistolnya ke Pangeran dan Putri Sophie.
Keduanya tak lama kemudian tewas. Princip pun di tangkap.
Pembunuhan terhadap ahli waris takhta Kekaisaran Austria-Hungaria ini memicu Eropa yang terkotak-kotak
saat itu makin panas. Jerman, Rusia, Prancis, Britania Raya, dan Austria-Hungaria dalam kondisi saling curiga.
Sebulan kemudian, 28 Juli 1914, Austria-Hungaria mengumumkan perang melawan Serbia. Rusia, sekutu Serbia, memobilisasi pasukan sehari kemudian. Jerman pun pada 30 Juli mengerahkan pasukannya
ke perbatasan Rusia. Tepat 1 Juli 1914, Jerman menantang perang Rusia.
Pangeran Ferdinand dan Putri Sophie menjadi korban pertama Perang Dunia I yang diklaim menewaskan 18 juta orang. Perang pun meluas ke Afrika dan Asia karena pihakpihak yang bertikai mengajak serta ang gota koloni mereka terlibat pe rang.
Perang ini menjadi yang kali pertama terbesar pada abad ke-19 karena mulai digunakannya senjata kimia dan tank, pengeboman massal melalui pesawat tempur, jumlah jutaan tentara yang dimobilisasi dalam pasukan perang.
Lebih dari 9 juta prajurit gugur, terutama akibat kemajuan teknologi senjata yang memperbanyak kematian. Dan jamak terjadi, dalam pertempuran seperti ini, wargasipil yang paling menderita.
Bahkan, dampaknya berbuntut panjang, seperti dialami warga Palestina yang diusir dari negerinya sendiri setelah Israel, atas dukungan Inggris, menduduki tanah mereka.
Yahudi penuhi Eropa Seberapa besar pengaruh Perang Dunia I pada peradaban di masa modern kini? Profesor Teori Politik Internasional di King’s College London Richard Ned Lebow menyatakan, tanpa ada Perang Dunia I, negara-negara di Eropa tak mungkin dalam kondisi ekonomi seperti saat ini.
Jerman akan menjadi kekuatan ekonomi, sains, dan ke budayaan, bahkan tak pernah disanksi sesuai perjanjian Versailles. Hitler tak akan dibunuh karakternya, yang membuatnya makin berkuasa.
Yahudi di Eropa bertambah makmur dan populasinya bakal memenuhi Benua Biru itu.“Bisa juga tak akan ada negara Israel,” kata Lebow seperti dikutip News Discovery.
Adapun Amerika Serikat akan tetap terisolasi, sedikit berinteraksi dengan dunia luar, dan tak banyak perhatian pada hak asasi kaum perempuan, kulit hitam, Yahudi, dan etnis minoritas lain. Tak akan ada Presiden Barack Obama, juga John F Kennedy. “Amerika Serikat sebelum 1945 merupakan tempatnya rasis,”
kata Lebow.
Saat bersamaan, senjata nu klir, komputer, bahkan internet tak akan lahir. Lantaran perang, militer membelanjakan banyak anggaran untuk pengembangan teknologi. Lebow menyebut dampak Perang Dunia I adalah berlombalombanya penelitian sains dan teknologi dalam mengembangkan senjata modern.
“Andai militer tak memerlukan pesawat saat itu, bisa jadi pengembangan pesawat sipil yang aman akan mo lor hingga beberapa dekade dari saat ini,” kata Lebow. Teknologi antibiotik, transfusi darah, pembalut wanita, me rupakan hal-hal kecil yang dibutuhkan oleh tenaga medis selama Perang Dunia I.
Sindrom Sarajevo Seratus tahun sudah lewat dari Perang Dunia I. Lalu, bisa kah konflik Sarajevo pada
1914 terulang di Mosul, Donetsk, Kashmir, Panmunjom, Senkaku, Spratly, atau konflik lokal lainnya pada 2014? Menurut Kathleen Hicks, mantan staf Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang sekarang menjadi direktur program keamanan internasional di Center for Strategic and International Studies di Washington, pesan dari Perang Dunia I cukup jelas: melokalisasi konflik lokal, mengintensifkan komunikasi, dan mencegah eskalasi. “Ada salah perhitungan di Perang Dunia I, menjadi konflik yang tak
terelakkan,” kata Hicks, seperti dilansir Bloomberg Businessweek.
Konflik lokal di beberapa negara yang terjadi saat ini, ungkap Hicks, lebih mendekati konflik yang memicu Perang Dunia I pada 1914, dibandingkan di masa Perang Di ngin pada 1950-1980-an yang menjadikan Amerika Serikat kekuatan adidaya tanpa tanding. “Sekali lagi, dunia kini dihadapkan pada konflik
multikutub,” kata Hicks.
Senjata nuklir seolah kehilangan kekuatan untuk menakuti tumbuhnya aksi separatis dan teror di sejumlah negara.
Cina sedang berada di puncak kejayaan ekonomi, setelah sekian lama dalam cengkeraman kolonialisme asing. Sedangkan, Rusia melemah secara ekonomi. Sekutu Amerika Serikat, seperti Jepang, kini berhadap-hadapan dengan Cina dalam sengketa Senkaku, hal yang tak terbayangkan satu generasi yang lalu.
Sindrom Sarajevo —istilah yang mengacu pada kekhawatiran terulangnya Perang Dunia I— juga bisa muncul
dari gagalnya peran negara. Konflik di Suriah, Irak, Pakistan, Afghanistan, Somalia, Sudan, dan negara lain yang terancam mengalami kekosongan kekuasaan bisa jadi surga bagi para teroris serta kriminal.
Di era globali sasi yang sekat-sekat negara-bangsa mulai pudar, komunikasi yang tak lagi terkendala waktu dan ruang, diharapkan menjadi pintu pembuka sin drom Sarajevo benar-benar tak terjadi.