Rabu 10 Sep 2014 14:00 WIB

Pemerintah Abaikan Irigasi

Red:
Waduk mengering.Sejumlah warga mengamati air di Waduk Dawuhan yang sudah mulai mengering, di Desa Plumpungrejo, Wonoasri, Madiun, Jawa Timur,Selasa (9/9).
Waduk mengering.Sejumlah warga mengamati air di Waduk Dawuhan yang sudah mulai mengering, di Desa Plumpungrejo, Wonoasri, Madiun, Jawa Timur,Selasa (9/9).

JAKARTA --  Kekeringan yang melanda sejumlah lahan persawahan di Indonesia merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah menggarap infrastruktur pertanian. Musim kemarau seharusnya bisa diantisipasi jika pemerintah memiliki keseriusan untuk membenahi masalah itu.

Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) Institut Pertanian Bogor (IPB) Dodik Ridho Nurrochmat mengungkapkan, saluran irigasi merupakan komponen utama yang memicu kekeringan pada sejumlah lahan pertanian di Indonesia. "Irigasi kita banyak yang sudah rusak, sementara pembangunan irigasi yang baru juga masih sangat minim," ujarnya kepada Republika, Selasa (9/9).

Menurutnya, infrastruktur saluran irigasi yang ada di Pulau Jawa masih sangat terbatas dan sudah tua, sementara di luar Jawa masih sangat kurang. Pemeliharaannya pun belum maksimal.  Bahkan, beberapa model pintu-pintu irigasi yang dibuat tidak sesuai.

Saluran yang sejatinya dari atas ke bawah justru berjalan sebaliknya. Dia mengusulkan agar kelompok pemakai saluran irigasi lebih diberdayakan. Dengan begitu, perawatan irigasi berjalan maksimal. 

 

Selain itu, dalam jangka panjang rehabilitasi lahan-lahan kritis juga diperlukan untuk mengatasi masalah kekeringan. Seperti yang sudah dilakukan pada lahan pertanian di Wonogiri, Jawa Tengah, dan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Senada dengan Dodik, pengamat pertanian Khudori menilai, sejak era reformasi, negara tidak mempunyai kemampuan yang baik dalam membangun dan merawat infrastruktur pertanian.

Ia memandang prioritas infrastruktur pertanian saat ini jauh berbeda jika dibandingkan pada masa Orde Baru.  "Kita bukan saja tidak mampu membangun infrastruktur yang baik, tapi juga tidak mampu merawat warisan dari Orde Baru," ujarnya kepada Republika.

 

Namun, menurut Khudori, yang perlu diperhatikan tak hanya masalah infrastruktur. Kekeringan yang selalu terjadi tiap musim kemarau diakibatkan oleh masalah di hulu yang menjadi daerah tangkapan air. Seharusnya, hulu sungai merupakan daerah yang dijaga kelestarian hutannya. Namun, penggundulan hutan telah menyebabkan air tak dapat tertahan di hulu. Akibatnya, daerah hilir tak memiliki sumber air pada musim kemarau.

Khudori menambahkan, hutan yang gundul tak hanya mengakibatkan masalah pada musim kemarau, tapi juga di musim penghujan. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk merehabilitasi infrastruktur pertanian juga harus dibarengi kebijakan pelestarian hutan. Khudori juga mengkritik konversi lahan pertanian yang tak terkontrol.

Anggota Komis IV Viva Yoga setuju tingginya angka deforestasi telah berdampak pada kekeringan. Hutan yang gundul membuat sumber mata air, yang menjadi langganan petani, kering ketika musim kemarau. "Kalau manajemen lingkungan seperti sekarang diteruskan, maka proses menuju krisis air akan semakin cepat," kata politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.   Dia berharap pemerintah ke depan memberi perhatian pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan

Kekeringan melanda di sejumlah lumbung padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur. Di Sragen, Jawa Tengah, waduk-waduk dan embung yang seharusnya mengairi sawah mulai kering. Kondisi serupa  juga terjadi di Semarang dan  Indramayu. Saluran irigasi tak terairi. Pemerintah menegaskan musim kemarau belum akan mengganggu target produksi padi tahun ini. Produksi gabah kering giling (GKG) pada akhir 2014 dapat mencapai angka 70,24 juta ton.

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengatakan, sedang membangun sejumlah waduk untuk meningkatkan kapasitas cadangan air pada musim kemarau. Pengerjaan waduk di sejumlah wilayah di Indonesia ini ditargetkan selesai pada 2017.

Wakil Menteri Menteri PU Hermanto Dardak menjelaskan, hingga saat ini kapasitas total waduk di Indonesia sebanyak 15 miliar meter kubik. "Artinya, kapasitas waduk besar ada yang mencapai di atas setengah juta meter kubik," katanya, Senin (9/9.

Diharapkan jika proyek pembangunan waduk telah selesai, kapasitas akan bertambah 2,3 miliar meter kubik. Dengan demikian, pada 2017 waduk di Indonesia mencapai kapasitas 17,3 miliar meter kubik.

Upaya ini dilakukan sebagai salah satu rekayasa dalam menyiasati perubahan iklim sehingga pada musim kemarau volume cadangan air yang dapat ditampung makin meningkat.

Hermanto menambahkan, waduk-waduk yang kini sedang dikebut penyelesaiannya memang hanya waduk kecil. Namun, jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Ia tak menampik kenyataan bahwa di beberapa lahan pertanian terjadi defisit air akibat kekeringan. Ia pun mengiyakan jika di Jateng dan Jatim terdapat waduk yang mengering. "Tapi, yang mengering adalah waduk-waduk kecil, sedangkan untuk yang besar seperti Jatiluhur masih bisa mendukung pertanian," katanya.

Kepala Balitbangtan Kementan Haryono mengatakan, ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan penunjang utama sektor pertanian di Indonesia. Menurutnya, daya saing pertanian salah satunya ditentukan oleh infrastruktur, baik yang langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur langsung, antara lain, saluran irigasi primer, sekunder, dan tersier, termasuk embung dan sumur renteng.

rep:meiliani fauziah/c88/c84 ed: teguh firmansyah

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement