Jumat 12 Sep 2014 17:00 WIB

Semua Orang di Sini Jahat

Red:

Marpuah (60) duduk termenung di bangku panjang dengan tatapan kosong. Dua tangannya dilipat di dada sambil menatap ke arah stan-stan di dalam ruangan Balai Pelayanan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (BPKTKI) Selapajang, Tangerang. Waktu saat itu menunjukkan pukul 12.33 WIB.

Marpuah adalah TKI yang baru pulang dari Yordania. Wanita asal Purwakarta, Jawa Barat, itu tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 06.00 WIB sampai akhirnya dia 'terdampar' di BPKTKI Selapajang. "Nggak tahu kapan pulangnya," kata Marpuah, kepada Republika, Kamis (11/9). Sementara, stan-stan di BPKTKI Selapajang yang seharusnya melayani Marpuah, terlihat banyak yang tidak dijaga oleh petugas.

Selama satu tahun bekerja di Yordania, Marpuah mengaku tidak pernah menerima gajinya. Padahal sebelumnya, Marpuah dijanjikan pihak sponsor menerima gaji tinggi. Setelah mengalami keadaannya sekarang, Marpuah tidak memikirkan gajinya yang tidak dibayar selama setahun. Yang penting saat ini Marpuah bisa pulang untuk kembali bersama keluarga.

Selain Marpuah, Republika menemui Farida, TKI asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Sama seperti Marpuah, Farida mengaku ingin segera sampai di rumahnya setibanya di Tanah Air. "Semua orang di sini jahat," kata Farida singkat.

Kisah Marpuah dan Farida menjadi potret kelam TKI yang baru tiba di Indonesia. Setibanya di Tanah Air, para pahlawan devisa ini harus berurusan dengan para oknum petugas yang siap memeras sebagian dari hasil jerih payah mereka. Penangkapan 18 oknum polisi dan TNI oleh KPK pada Agustus 2014 menjadi bukti, terminal TKI di Bandara Soekarno-Hatta menjadi jebakan maut bagi para TKI sebelum sampai ke daerah masing-masing. 

Namun, inspeksi mendadak KPK sebulan lalu sepertinya belum menimbulkan efek jera. Saat Republika, kemarin, mengunjungi Bandara Soekarno-Hatta, modus-modus menawarkan jasa yang ujungnya diduga pemerasan terhadap TKI masih ditemukan. "Dari mana? Mau dibantu apa tidak?" tanya salah seorang petugas berseragam, yang mengira Republika adalah seorang TKI.

Masih di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, tepatnya di Terminal 2 B, Republika juga langsung dihampiri oleh seorang petugas keamanan. Tanpa basa-basi, petugas itu langsung menawarkan jasa antar ke BPKTKI Selapajang, atau terminal tempat TKI dikumpulkan sebelum dipulangkan ke daerah masing-masing. "Mau diantar nggak ke Terminal TKI-nya, kalau nggak tahu jalan memang muter-muter," kata petugas itu setengah memaksa.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyatakan, penawaran-penawan jasa kepada TKI seperti itu adalah modus yang berujung pada pemerasan. Setelah para TKI bersedia diantar oleh petugas yang menawarkan jasa, para TKI itu kemudian dipaksa untuk menukarkan valutas asing dengan nilai kurs yang jauh di atas nilai tukar resmi. Para petugas itu juga kemudian memaksa para TKI menggunakan taksi gelap bandara dengan tarif selangit. Menurut data yang dimiliki KPK, setiap TKI rata-rata diperas hingga Rp 2 Juta.

Beradasarkan rapat koordinasi dengan instansi terkait seperti UKP4, Kemenakertrans, dan BNP2TKI, KPK pun mengambil keputusan menutup BPKTKI Selapajang. Penutupan rencananya akan efektif 1 Oktober mendatang. Sebagai gantinya, di Bandara Soekarno-Hatta akan dibangun tempat penampungan (shelter) khusus TKI yang juga difungsikan sebagai crisis center. Shelter khusus ini akan menampung sekaligus menangani para TKI yang sakit atau tidak memiliki biaya untuk pulang ke daerahnya.

Menyusul keputusan penutupan dari KPK itu, BPKTKI Selapajang kemarin terlihat dijaga ketat oleh petugas keamanan setempat. Sejak pagi hari, petugas yang terdiri atas personel polisi dan petugas keamanan telah berjaga-jaga. "Untuk antisipasi saja, kita siaga dari jam delapan pagi," kata seorang petugas.

Petugas yang enggan disebut namanya itu mengatakan, pihaknya berjaga-jaga setelah ada informasi aksi demonstrasi dari LSM Migrant Justice. Ratusan personel polisi dari satuan Sabhara terlihat berjaga-jaga. Selain anggota polisi berseragam cokelat banyak juga orang yang berpakaian bebas mondar-mandir bergerombol. "Kok KPK mau nutup, apa urusannya," tanya petugas tadi.

Kepala BPKTKI Selapajang Yaved, yang ditemui Republika di ruang kerjanya mengaku baru mengetahui rencana penutupan kantornya dari berita-berita di internet. Yaved menyatakan akan menerima apa pun keputusan pemerintah.

Namun, kata Yaved, sebelum menutup, KPK dan lembaga lainnya harus bisa membuktikan kalau di BPKTKI Selapajang terjadi pungutan liar seperti yang selama ini dituduhkan. "KPK coba dong sidak kesini, saya siap diperiksa kalau di sini ada pungli," katanya.

Yaved mengklaim, para TKI malah mengaku lebih nyaman pulang dari luar negeri menggunakan terminal TKI untuk sampai ke kampung halamannya daripada pulang menggunakan terminal yang ada di Bandara Soekarno-Hatta. "Di sini lebih aman, di sana TKI malah bilang banyak pungli," katanya.

Soal tudingan Yaved itu, PT Angkasa Pura (AP) II malah merasa dirugikan dengan adanya terminal kedatangan khusus TKI. Alasannya, setiap masalah yang terjadi di terminal yang berada di kawasan Bandara Soekarno-Hatta tersebut selalu memberikan kesan buruk kepada AP II. "Padahal, itu tanggung jawab BNP2TKI tapi setiap ada masalah, kita selalu kebawa," kata Senior General Manager PT Angkasa Pura II, Bram Bharoto Tjiptadi,  Kamis (11/9).

Bram mengakui, penutupan BPKTKI Selapajang memang permintaan dari pihak PT Angkasa Pura. "Karena selama ini pengoperasiannya yang di Selapajang kerap disebut sebagai terminal 4," kata Bram. Padahal, terminal tersebut bukan termasuk terminal yang dikelola oleh AP II.

Setelah BPKTKI Selapajang ditutup, kata Bram, pihaknya telah menyediakan crisis center untuk TKI yang bermasalah. Namun, crisis center itu bukanlah tempat penampungan TKI bermasalah. "Jadi, hanya lewat saja, jadi TKI keluar dari terminal 2D sama seperti penumpang lain, yang punya masalah silakan ke crisis center, nanti pihak BNP2TKI yang membantu. AP II hanya memfasilitasi." rep:c62/c81 ed: andri saubani

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement