REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), kemarin, nilai tukar rupiah telah berada pada level Rp 13.022. Tren pelemahan mata uang nasional ini telah tampak dua hari sebelumnya.
Pada Selasa, rupiah pada level Rp 12.962, sehari kemudian menjadi Rp 12.963. Puncak penurunan terjadi pada Kamis (5/3). Direktur Eksekutif The Finance Research Eko B Supriyanto mengatakan, dibandingkan mata uang di kawasan Asia lainnya, penurunan rupiah tajam.
Menurut Eko, baht Thailand, peso Filipina, dan rupee India per Kamis (5/3) mengalami penguatan. "Ini menunjukkan tidak semua mata uang di kawasan mengalami kemerosotan seperti rupiah, won, yuan, maupun ringgit," katanya.
Berdasarkan data Bloomberg dan BI, dalam kurun sekitar sepekan baht, peso, dan rupee mengalami penguatan namun tak demikian dengan rupiah. Pada 23 Februari, baht berada pada posisi 32,55 per dolar AS dan pada 5 Maret menguat menjadi 32,42.
Mata uang peso pun menguat dari 44,30 menjadi 44,12. Sementara, rupiah turun drastis. Pada periode yang sama, semula rupiah berada di posisi Rp 12.823 lalu meluncur menjadi Rp 13.022. Ia memperkirakan, sepanjang Maret 2015, rupiah tetap pada kisaran Rp 13 ribu.
Eko mengakui, faktor eksternal memang berpengaruh pada penurunan rupiah. Meski demikian, ia menegaskan bahwa kondisi politik dan fundamental ekonomi di dalam negeri berpengaruh pada tren pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan, turunnya rupiah menguntungkan eksportir. Tapi, Eko justru menyayangkan bahwa kondisi ini sama sekali tak dinikmati para eksportir akibat ekspor yang stagnan. Ini membuat transaksi perdagangan defisit dan menekan rupiah.
Eko menilai, sudah waktunya pemerintah mendorong ekspor dengan memperbaiki infrastruktur untuk kelancaran ekspor. Ketum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menganggap rupiah melemah karena turunnya BI rate dan kinerja ekspor.
Ditambah lagi, ungkap Hariyadi, neraca perdagangan Indonesia yang mengalami defisit. "Dalam situasi seperti ini harusnya kita melakukan konsolidasi untuk meningkatkan ekspor karena saat rupiah melemah yang diuntungkan mestinya ekspor,’’ katanya.
Sayangnya, peningkatan kinerja ekspor di dalam negeri masih sulit terealisasi karena kapasitas produksi tidak menunjang. Selain itu, kebutuhan bahan baku impor masih tinggi. Ekspor nonmigas andalan seperti tekstil dan furnitur tak bisa menambal defisit perdagangan.
Hariyadi meminta pemerintah membuat kebijakan yang bisa mendongkrak ekspor. Sebab, menurut dia, menggenjot ekspor bukan perkara mudah karena harus ada kesesuaian kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menteri terkait mencermati nilai tukar rupiah. "Presiden menekankan pentingnya menjaga stabilitas ekonomi agar rupiah tak terus anjlok. Itu menjadi perhatian Presiden,’’ kata Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.
Menurut Andi, dalam sidang kabinet sehari sebelumnya, sejumlah persoalan ekonomi dibahas seperti inflasi, harga beras, dan kurs rupiah. Meski demikian, ia tak mengungkapkan bagaimana respons Presiden mengenai rupiah yang sudah menembus Rp 13.022.
Gubernur BI Agus Martowardojo meminta pelaku pasar dan masyarakat tak khawatir mengenai rupiah yang menyentuh Rp 13.022. Ia masih tetap menuding faktor eksternal sebagai penyebabnya. Perkembangan ekonomi AS dan Cina merupakan penyebab utamanya.
’’Secara umum, rupiah dalam keadaan baik,’’ ujar Agus. Ia beralasan, level rupiah saat ini masih mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Apalagi, BI terus berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah dan tak akan ragu mengintervensi kalau memang diperlukan.
Pada 2014, fluktuasi rupiah berada pada kisaran 10 persen sepanjang tahun. Sekarang, kata Agus, fluktuasi ini tidak melewati 10 persen. Apalagi, ia menganggap bahwa pelemahan rupiah saat ini hanya bersifat sementara.
Selain itu, cadangan devisa senilai 114 miliar dolar AS, ia nilai masih dalam kondisi mencukupi. Terutama, untuk menutupi lebih dari enam bulan kewajiban impor atau pembayaran utang yang jatuh tempo seiring menguatnya dolar AS.
Agus menambahkan, sampai akhir Februari 2015, jumlah aliran modal yang masuk (capital inflow) sudah mencapai Rp 57 triliun. Namun, ia enggan menanggapi pertanyaan mengapa ada capital inflow, tetapi justru terjadi pelemahan rupiah.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, intervensi tak menyelesaikan persoalan melemahnya rupiah. "Intervensi hanya dilakukan supaya tidak bergejolak terlalu tinggi." rep: HAlimatrus Sa'diyah, Rizky Jaramaya Fuji Pratiwi/c87 ed: Ferry Kisihandi