JAKARTA -- Parlemen akhirnya mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang, Rabu (12/10). Hukuman kebiri untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang tertuang dalam regulasi tersebut juga diloloskan.
Sidang paripurna terkait pengesahan regulasi tersebut berlangsung alot. Lobi-lobi yang dilakukan masing-masing fraksi sempat membuat sidang terpaksa ditunda sejam lamanya.
Namun pada akhirnya, saat Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menanyakan kepada para peserta sidang, hampir seluruhnya menyatakan setuju untuk mengesahkan regulasi tersebut. "Akhirnya, perppu dapat disahkan menjadi undang-undang," kata Agus di ruang sidang paripurna Kompleks Parlemen Senayan kemarin.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu berharap, dengan disahkannya penambahan Undang-Undang Perlindungan Anak, kekerasan terhadap anak-anak dapat diminimalisasi, termasuk kekerasan seksual. Terutama, melalui pemberatan hukuman yang terkandung dalam beleid tersebut.
Presiden Joko Widodo meneken Perppu Nomor 1 Tahun 2016 pada 25 Mei 2016 lalu. UU Perlindungan Anak dianggap tak cukup memberikan efek jera, karena ancaman maksimal pidana buat pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya 15 tahun penjara.
Melalui perppu itu, pemerintah menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Adapun hukuman tambahan lainnya berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Penerbitan perppu dipicu maraknya laporan kasus pemerkosaan terhadap korban di bawah umur. Salah satu yang mengemuka adalah pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY (14 tahun), seorang siswi SMP di Rejang Lebong, Bengkulu, oleh 14 pelaku pada April 2016.
Meskipun disetujui, sikap parlemen kemarin ditandai dengan catatan dari Fraksi Gerindra dan Fraksi PKS. Dua fraksi tersebut tetap menolak pemberlakuan hukuman kebiri dalam UU Perlindungan Anak.
Politikus PKS, Ledia Hanifa Amalia, mengatakan, data yang menjadi dasar perlunya penerapan hukuman kebiri masih kurang jelas. Ia juga menilai, hukuman kebiri dapat menyebabkan dampak-dampak psikis dan medis, yang belum bisa diperkirakan bagi pihak terhukum.
Selain itu, PKS menilai perlu upaya lebih komprehensif guna menyudahi kekerasan seksual terhadap anak. PKS juga menyatakan perlu ada regulasi soal perlindungan korban yang lebih menyeluruh. "Ini (hukuman kebiri) bukan satu-satunya solusi. Rumusan perppu ini juga belum memiliki aturan yang jelas. Lalu, teknis perlindungan korban sangat minim," kata Ledia.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Fraksi Gerindra, Rahayu Saraswati. Dia mengatakan, partainya menyetujui pengesahan perppu, tapi mengharapkan ada revisi pada masa mendatang. "Kami harap dapat diimplementasikan sebaiknya. Kalau mayoritas fraksi setuju, kami menghormati putusan tersebut," kata dia.
Saraswati menyatakan, hukuman tambahan berupa kebiri juga tidak manusiawi dan bertentangan dengan UU lainnya. Hukuman tambahan kebiri, menurut dia, juga sulit diterapkan dan tidak efisien. "Mengatasi kekerasan seks, yang dihukum bukan alat kelaminnya, tapi diperbaiki cara berpikir dan mentalnya," katanya.
Di lain pihak, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyambut baik disetujuinya Perppu Kebiri. "Dengan diundangkan mudah-mudahan makin mantap proses penetapan putusan pengadilan kepada pelaku," katanya di Jakarta, kemarin.
Mensos mengatakan, regulasi itu sudah bisa diberlakukan bagi para terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak, yang saat ini sedang disidang. Perppu yang sudah disetujui menjadi UU, menurut dia, bisa dijadikan referensi bagi segala keputusan pengadilan terkait dengan kekerasan seksual pada anak.
Khofifah mengatakan, sejak diteken Presiden Jokowi, Perppu Kebiri sedianya sudah mulai dijadikan pegangan hakim dalam menerapkan hukuman yang lebih berat bagi pelaku. Meski begitu, dengan diundangkannya pemberatan hukuman, diharapkan bisa kian mendorong adanya hukuman yang lebih tegas dan pada akhirnya mengurangi kejahatan seksual terhadap anak. rep: Ali Mansur, Dian Erika Nugraheny/antara, ed: Fitriyan Zamzami