JAKARTA -- Pemerintah didesak agar serius menegakkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Direktur Eksekutif Halal watch, Ikhsan Abdullah, menilai, tak kunjung tuntasnya peraturan pemerintah (PP) sebagai salah satu peraturan pelaksana UU JPH, membuktikan tak adanya kemauan dan kesungguhan pemerintah untuk menegakkan UU JPH.
"Pemerintahan tidak mempunyai kemauan yang baik untuk melaksanakan Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini," ujar Ikhsan kepada Republika, Rabu (19/10). Menurut dia, UU JPH tak bisa dijalankan apabila tidak ada peraturan pelaksananya.
Menurut Ikhsan, UU JPH mengamanatkan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan tersebut, menurut dia, bertugas untuk melakukan sistem jaminan produk halal. "Bagaimana mau dibentuk BPJPH kalau peraturan pelaksananya saja tidak ada," katanya.
Wakil Ketua Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Osmena Gunawan menekankan, tanggung jawab pemerintah terkait penyusunan PP Jaminan Produk Halal, yang hingga kini belum diterbitkan.
"Sudah diamanahkan kepada pemerintah. Pemerintah harus bertanggung jawab menerbitkan itu," kata Osmena kepada Republika di Jakarta, Rabu (19/10). Dia pun menyayangkan lambannya proses penerbitan PP JPH.
Osmena menyebut, LPPOM MUI tak dapat mendorong pemerintah menyelesaikan peraturan pelaksana itu. "Kita tetap tidak bisa memaksa atau mendesak pemerintah," ujar dia. Meski begitu, Osmena merasa, PP JPH bukan sesuatu yang mudah diterbitkan. Sebab, apabila salah langkah, bisa jadi bumerang.
Ia pun mengingatkan, UU JPH bertujuan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan produk halal. Karena itu, menurut dia, jangan sampai desakan untuk menyusun PP dari UU JPH membuat pemerintah salah langkah. Osmena mengungkapkan, belum diterbitkannya PP JPH jelas berimbas pada tidak terasanya pengaruh UU JPH.
Padahal, menurut dia, perusahaan-perusahaan sudah diwajibkan memiliki dan mengurus sertifikasi halal, terutama satu tahun terakhir. Osmena menekankan, fungsi LPPOM MUI akan tetap berjalan seperti biasa, khususnya terkait sertifikasi halal.
"Tidak akan terpengaruh ada tidaknya PP dari UU JPH," kata Osmena.
Selain masalah PP JPH yang belum tuntas, lembaga nonpemerintah lainnya, Halal Corner, menyoroti ketidaktahuan masyarakat. Baik konsumen maupun pengusaha terhadap UU JPH.
Pendiri Halal Corner Aisha Maharani mengatakan, hal ini terjadi lantaran sosialisasi UU JPH terhadap konsumen dan pengusaha belum cukup. Secara mandiri, Halal Corner juga turut membantu pemerintah menyosialisasikan UU JPH kepada publik.
Namun, banyak kendala yang dihadapi di lapangan. "Banyak pengusaha yang belum menyertifikasi produknya. Masyarakat konsumen juga masih banyak yang berani makan di restoran, yang belum memiliki sertifikasi halal. Padahal, belum jelas makanannya halal atau tidak," ujar Aisha.
Selain itu, dia mengatakan, proses sertifikasi halal selepas pengesahan UU JPH pun belum jelas. Sebab, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang diamanatkan beleid itu pun belum dibentuk. "Sampai saat ini, belum ada standar lembaga halal yang nanti boleh melakukan sertifikasi halal," kata Aisha. Menurut dia, sertifikasi halal harus ada prosedurnya sehingga payung hukumnya jelas.
Saat ini, terdapat beberapa lembaga yang mengklaim sebagai lembaga sertifikasi halal. "Tapi kompetensinya, standarnya seperti apa, itu yang belum jelas," ujar Aisha.
Jika nantinya BPJPH terbentuk, akan ada tiga pintu bagi industri untuk mendapatkan sertifikasi halal. Di antaranya, BPJPH, Lembaga Penjamin Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Bisa jadi agak lama, birokratif banget, dan masalah pendanaan juga, sebenarnya banyak poin yang masih dikritisi," kata Aisha.
Menanggapi desakan lembaga nonpemerintah, Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Muhammadiyah Amin menjelaskan, instansi lintas kementerian/lembaga (K/L) masih membahas draf PP JPH. Instansi-instansi yang terlibat, antara lain, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kesehatan.
"Ini berkaitan dengan produk dan usaha yang tercantum dalam UU JPH," ujar Amin kepada Republika. Menurut dia, proses harmonisasi membutuhkan waktu yang lama.
Sebab, dalam UU JPH, bukan hanya makanan dan minuman yang menjadi fokus, melainkan juga kosmetika dan obat-obatan. Amin menargetkan, PP JPH akan selesai dibahas bersama K/L terkait pada akhir tahun ini.
Setelah harmonisasi, Kemenag akan mengajukan PP JPH kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk difinalisasi. "Dari Kemenkumham baru proses selanjutnya terkait aturan turunan lainnya dibuat," kata Amin.
Ia pun menyadari, sejumlah pihak mempertanyakan rentang lamanya pembuatan PP JPH. Apalagi, UU JPH telah diundangkan dua tahun lalu, tepatnya pada 17 Oktober 2014. Amin beralasan, Kemenag tidak dapat menentukan sendiri konten peraturan turunan tersebut. "Tetapi, harus dibahas dengan pihak lain," ujar dia. rep: Wahyu Suryana, Fuji Eka Permana, Ratna Ajeng Tejomukti, ed: Muhammad Iqbal