JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan mengajukan banding terhadap vonis mantan deputi gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya. Budi Mulya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, kemungkinan besar KPK mengajukan banding. "Putusan formalnya diputuskan pimpinan, tapi kayaknya ada tendensi untuk melakukan banding karena ada beberapa hal yang perlu dikembangkan," kata dia, Kamis (17/7).
Bambang menyatakan, hal yang dikembangkan, seperti kualifikasi perbuatan melawan hukum. Dasar legitimasi hakim, yaitu perundang-undangan. "Padahal, perudangan juga banyak yang dilangar, misalnya, tata cara membuat surat kemudian vonis yang di bawah dua pertiga tuntutan," kata dia.
Namun, Bambang menyatakan, KPK belum menentukan langkah lebih lanjut dan masih memerlukan laporan dari jaksa. "Dan, memperhatikan proses selanjutnya, misalnya, putusan banding maupun kasasi di Mahkamah Agung," kata dia.
Majelis hakim yang terdiri atas Afiantara, Rohmad, Anas Mustaqim, Made Hendra, dan Joko Subagyo menyatakan, Budi Mulya bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Tidak hanya hukuman penjara, Budi Mulya wajib membayar denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan.
Komisoner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri menilai, vonis terhadap Budi Mulya sesuai dengan rasa keadilan yang diinginkan masyarakat. "Tuntutan jaksa selama 17 tahun, artinya vonis yang diberikan sudah sepertiga dari tuntutan jaksa. Saya rasa ini memenuhi meski kedua belah pihak memutuskan kasasi," kata dia.
Menurut dia, melalui putusan itu, hakim juga menemukan titik terang untuk menjerat terdakwa kasus dana talangan Bank Century ini seperti halnya yang disangkakan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Selama ini, terjadi polemik di masyarakat karena selalu dikaitkan dengan masalah kebijakan, tapi pada akhirnya hakim menemukan fakta bahwa kebijakan tersebut dijalankan dengan beriktikad buruk," kata dia.
Taufiqurrahman menerangkan, hakim mendapati bahwa bank yang dianggap gagal berdampak sistemik itu dirusak pemiliknya sendiri pada 2005. Kemudian, para pengambil kebijakan, di antaranya, Budi Mulya mengabaikan data tersebut dengan tetap bersepakat menggelontorkan dana talangan secara berjenjang hingga Rp 6,7 trilun.
"Para penegak hukum pada prinsipnya mendorong penerapan tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) asalkan kebijakan yang diambil berlandaskan iktikad baik, akal sehat, dan moralitas," ujar dia.
KY juga mengharapkan kasus ini terus didalami KPK, sehingga tidak terhenti pada Budi Mulya mengingat hakim menilai tindakan tersebut dilakukan bersama-sama. "Hakim memvonis 'berat' bukan untuk menghukum Budi Mulya semata, tapi untuk mencegah agar tindakan yang merugikan negara ini tidak terulang kembali." antara ed: ratna puspita