MALANG — Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang menyatakan kekerasan terhadap petani penolak tambang, Salim Kancil (46 tahun) dan Tosan (51), seharusnya bisa dihindari jika polisi sigap mengantisipasi kejadian tersebut.
Pada 11 September 2015, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, sudah mengadukan ancaman yang dialamatkan pada warga penolak tambang kepada pihak kepolisian.
"Namun, laporan ini tidak mendapatkan tanggapan yang cukup. Karena, nama-nama mereka yang memberikan ancaman sama sekali tidak diproses oleh pihak kepolisian," ujar tim advokasi lewat rilisnya pada Senin (28/9). Menurut tim, para terlapor kemudian terbukti melakukan penyerangan terhadap Tosan dan Salim. Jika pihak kepolisian memiliki kesungguhan untuk melindungi keselamatan warga, seharusnya peristiwa tragis tersebut bisa dihindari.
Penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan disebut sudah berlangsung lama. Tak hanya di Selok Awar-Awar, penolakan tambang di pesisir selatan Lumajang pun telah menimbulkan keresahan dan penolakan di berbagai tempat.
"Panjangnya daftar konflik akibat aktivitas pertambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Lumajang ini rupanya tidak menjadi pelajaran bagi Pemerintah Kabupaten Lumajang beserta aparat keamanannya."
Tim advokasi yang terdiri dari Laskar Hijau, Walhi Jawa Timur, Kontras Surabaya, serta LBH Disabilitas menyerukan kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk serius dalam mengusut para pelaku pembunuhan hingga aktor intelektual di balik peristiwa tersebut.
Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, polisi akan mengusut tuntas kasus penganiayaan yang menyebabkan satu orang meninggal dunia di Lumajang tersebut. "Kasus itu menjadi atensi kapolda Jatim dan sejumlah penyidik polda juga turun ke Lumajang untuk membantu Polres Lumajang dalam menangani kasus penganiayaan berat itu," katanya saat dihubungi dari Lumajang.
Puluhan aktivis menggelar aksi solidaritas terhadap dua warga Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, yang menjadi korban kekerasan. Salim Kancil dan Tosan menjadi korban karena menolak tambang galian pasir di desa mereka.
Koordinator aksi Abdurrahman mengungkapkan, kekerasan terhadap penolak tambang bukan yang pertama kali terjadi. "Aksi kekerasan tambang terjadi di mana-mana. Kemarin di Rembang, Kediri, hari ini di Lumajang, nanti di tempat lain, di Sidoarjo, di Mojokerto," katanya di Malang, Jawa Timur, kemarin.
Aksi solidaritas ini tergabung dalam aliansi "Sedulur Tunggal Roso" yang diikuti oleh Malang Corruption Watch (MCW), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di sekitar Malang. Akademisi dan seniman pun turun ke jalan untuk menyatakan pembelaannya kepada dua korban tersebut.
Salim Kancil tewas akibat diserang sekelompok massa pada Sabtu (26/9). Satu korban lainnya, yakni Tosan, warga Dusun Persil, kritis. Keduanya dikenal sebagai warga penolak tambang pasir di pesisir Pantai Watu Pecak. Mereka dihajar di tempat yang terpisah.
Abdurrahman mengatakan, dua korban tersebut adalah petani yang sedang memperjuangkan keadilan ekologis bagi kelangsungan hidup mereka. Kedua petani itu melawan aktivitas tambang pasir golongan B di pesisir Watuk Pecak.
Menurutnya, kasus ini menjadi fakta yang membuktikan bahwa petani telah dirampas hak-haknya, baik oleh pemerintah maupun pemodal. Dia pun meminta struktur birokrasi sampai tingkat desa dapat segera merekam, mendeteksi, serta mencegah terulangnya aksi kekerasan terhadap masyarakat yang berjuang untuk menolak tambang. rep: Lintar Satria, Andi Nurroni ed: A Syalaby Ichsan