"Karena Pak Dandung pingin perkara ini cepat selesai. Dia (Dandung) minta supaya perkaranya di-close," kata Marudut Pakpahan, saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (10/8).
Marudut yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini kemarin menjadi saksi untuk dua terdakwa lain, yaitu Direktur Keuangan dan Human Capital PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko dan Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno. Mereka didakwa menjanjikan uang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus (aspidsus) Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu senilai Rp 2,5 miliar.
Menurut Marudut, uang tersebut untuk penghentian penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Brantas Abipraya yang sedang diusut Kejati DKI Jakarta. Marudut mengakui, uang senilai Rp 2,5 miliar yang dititipkan Dandung akan diberikan kepada Sudung dan Tomo. Namun, Marudut berkeras mengklaim, tidak ada permintaan uang dari pihak Kejati DKI Jakarta. "Inisiatif kita berdua aja (Marudut dan Dandung) karena Pak Dandung kan bilang biar cepat saja," kata Marudut.
Marudut tertangkap dalam suatu operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 31 Maret 2016 di toilet pria Hotel Best Western Premier The Hive Jakarta Timur saat menerima uang pecahan dolar AS senilai 186.035 dolar AS atau senilai Rp 2,5 miliar. Uang tersebut diduga agar Sudung dan Tomo menghentikan penyelidikan perkara penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya.
"Setelah terima uang, kok yang menghubungi Pak Tomo?" tanya jaksa penuntut umum KPK Abdul Basir.
Marudut menjawab, "Karena saya tanya kelanjutannya bagaimana, Dia tanya saya jadi datang atau tidak ke kantor." Seperti diketahui, Marudut ditangkap penyidik KPK sekitar pukul 09.30 WIB, sedangkan Tomo menghubungi dirinya sekitar pukul 11.00 WIB pada hari yang sama.
Marudut mengaku bahwa ia mengenal Sudung saat Sudung menjabat sebagai aspidsus di Surabaya. Namun, hal itu terbantahkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Marudut yang dibacakan oleh jaksa. "BAP Nomor 9, 21, dan 21, Saudara di sini menyatakan pernah mengurus perkara di Bangka Belitung ke Sudung?" tanya jaksa KPK, Kristanti Yuni Purnawanti.
"Mengurus perkara bukan dengan Pak Sudung, tapi langsung Pak Hidayatullah. Waktu itu Hidayatullah Kajati Bangka Belitung," kata Marudut, menjawab pertanyaan jaksa. Jaksa Yuni pun kembali bertanya, "Di Belitung itu Dandung juga pernah meminta bantuan karena pernah diperiksa sebagai saksi. Lalu Saudara menjawab, 'Tenang ini teman saya.' Jadi, memang ini terkait dengan PT Brantas?" Marudut menjawab, "Iya."
Ketua majelis hakim, Johanes Priatna, sempat membacakan BAP Marudut yang menyangkut permintaan bantuan kepada Tomo. Dalam BAP nomor 6 terungkap adanya percakapan di ruang kerja Tomo di mana saat itu Marudut menanyakan perkara PT Brantas Abipraya. "Pak masalah kasus yang tadi kira-kira bagaimana ya Pak?" Dijawab Tomo. "Ini sudah penyidikan dananya sudah dipakai mereka tidak bener itu," kata hakim Johanes membacakan BAP.
Masih menurut BAP, Marudut kemudian tetap meminta bantuan kepada Tomo, yang direspons Tomo, "Makanya kau tanya mereka seperti apa bantuannya tanyakan apa ada bantuan operasionalnya, berapa?" Hakim Johanes pun kemudian mengonfirmasi apakah benar Tomo memberikan jawaban seperti yang tertera di BAP itu. "Itu persepsi penyidik karena Pak Tomo hanya mengatakan suruh mereka datang kalau bisa kita bantu ya," jawab Marudut.
Sebelum dirinya ditangkap KPK, Marudut mengakui pernah membicarakan soal uang dengan Dandung di salah satu hotel di Jakarta. "Di Gran Melia (bertemu Dandung) setelah saya ketemu Pak Sudung dan Pak Tomo tanggal 23 Maret. Pak Dandung merasa ini supaya cepat di-close, nanti ditawar berapa, lalu disampaikan Rp 2,5 (miliar). Pak Dandung bilang, 'Pak pegang dulu ini Rp 2 (miliar).' Tapi, kemudian saya ketangkap tanggal 31 setelah penyerahan uang."
Dalam perkara ini, Marudut, Dandung, dan Sudi didakwa dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau juncto Pasal 53 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman pidana untuk mereka bertiga paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Namun, hingga saat ini KPK belum menetapkan tersangka dari pihak penerima suap. Oleh Dadang Kurnia/antara, ed: Andri Saubani