Setelah dua tahun bekerja di Arab Saudi, Arman Abelarde (47 tahun) mengemas tasnya pada September lalu dan pulang ke Filipina. Pekerja asing seperti Abelarde telah menjadi sumber tenaga kerja utama di Teluk Arab selama setengah abad.
Di Riyadh, Abelarde bekerja sebagai pembuat papan panel. Namun, perusahaannya, sama seperti perusahaan-perusahaan lainnya, mulai memberhentikan karyawan seiring dengan sedikitnya kontrak dari pemerintah karena kemerosotan harga minyak.
"Saya tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, bahwa Arab akan runtuh. Tidak ada lagi proyek. Perusahaan menutup usahanya," ujar Abelarde.
Baru-baru ini, Pemerintah Arab Saudi terlambat membayar kontrak konstruksi. Akibatnya, ribuan pekerja asing terbengkalai tanpa bayaran. Perusahaan Abelarde menjadi salah satu di antaranya.
Abelarde menceritakan, pemimpin perusahaannya menawarkan pilihan, yaitu memberikan ongkos pesawat agar ia bisa pulang ke rumah atau ia tidak dibayar karena perusahaannya akan segera tutup. Ia memilih pulang dan merelakan upahnya yang tidak terbayar.
Saat ini ia menjadi tukang cat rumah di Manila. Pekerjaan ini satu-satunya pekerjaan yang ia dapatkan untuk menghidupkan lima orang anggota keluarganya. "Saya tidak ingin menganggur, saya akan melakukan pekerjaan apa saja," ucap Abelarde.
Pergolakan isu tenaga kerja impor di Arab Saudi cukup menyita perhatian dunia. Isu ini disejajarkan dengan isu anti-imigran di Inggris setelah adanya Brexit serta isu pembangunan dinding perbatasan Meksiko-Amerika Serikat (AS) oleh calon presiden AS, Donald Trump.
Salah satu negara yang paling terpukul dari isu tenaga kerja impor Arab Saudi adalah Filipina. Isu ini menambah daftar panjang masalah yang harus dihadapi Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Untuk sebagian besar warga Filipina, Arab Saudi adalah tempat menggiurkan untuk mencari lahan pekerjaan. Perusahaan-perusahaan di sana dibanjiri oleh proyek-proyek konstruksi yang didanai subsidi dari pendapatan minyak.
Arab Saudi menjadi negara tujuan utama ribuan pekerja Filipina di luar negeri. Sementara, ratusan lainnya memilih bekerja di Uni Emirat Arab, Qatar, dan di negara-negara penghasil minyak lain. Uang yang dikirim tenaga kerja Filipina dari seluruh dunia, menyumbang 10 persen untuk perekonomian Filipina.
"Filipina menjadi sedikit bergantung pada pekerjaan di Timur Tengah. Sekarang kawasan itu tidak lagi mampu menyerap banyak tenaga kerja seperti dulu dan prospek pengiriman uang memburuk," ungkap ekonom Bank of the Philippine Island, Emilio Neri, di Manila, dikutip dari Bloomberg, Selasa (18/10).
Lebih dari 8.000 warga Filipina kehilangan pekerjaan di Arab Saudi sepanjang tahun ini. Departemen Luar Negeri Filipina memperkirakan, hal itu akan mengancam aliran dana bagi keluarga yang menjadi tanggungan para tenaga kerja dan juga mengancam kestabilan pemasukan devisa negara.
Hal yang membuat masalah ini menjadi lebih buruk adalah melemahnya sektor pekerjaan luar negeri lainnya, yaitu sektor tenaga kerja untuk kapal pesiar. Permintaan tenaga kerja pelaut menurun hingga 44 persen pada Januari hingga Juli 2016 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pelaut Filipina mencakup seperempat dari 1,5 juta pelaut yang ada di seluruh dunia.
Bank Dunia dalam laporannya bulan ini memperkirakan pengiriman uang ke Filipina hanya meningkat sebesar 2,2 persen menjadi 29 miliar dolar AS atau Rp 337 triliun di tahun ini. Jumlah tersebut menunjukkan laju perekonomian paling lambat dalam satu dekade.
"Pengiriman uang menjadi lebih sering berubah-ubah. Harga minyak yang rendah membuat pengiriman uang dari Timur Tengah, yang menjadi sumber utama, menurun. Sementara, perdagangan barang yang lesu membebani biaya pengiriman via laut," tutur Kepala Penelitian Ekonomi Asia HSBC Holdings Plc, Frederic Neumann, di Hong Kong.
Perang narkoba
Duterte, yang baru menjabat sebagai presiden Filipina pada Juni lalu, menghadapi risiko meningkatnya masalah perekonomian di negaranya. Kepercayaan investor terhadap Filipina sedang goyah. Kamar Dagang AS bulan lalu memperingatkan, perang terhadap narkoba yang dilancarkan Duterte justru bisa merusak citra negara. Sektor ekspor, sumber pemasukan terbesar Filipina dari valuta asing, terus jatuh selama 17 bulan terakhir.
Mata uang peso diperdagangkan mendekati level terendah selama tujuh tahun, menunjukkan performa mata uang Asia terburuk setelah yuan pada 2016 lalu. Selain itu, saham juga jatuh sebesar 5,6 persen sejak Duterte menjabat.
Lebih dari 1,4 juta warga Filipina memilih bekerja di luar negeri pada 2014 lalu. Data pemerintah menunjukkan, 1 juta di antaranya bekerja di Timur Tengah. Arab Saudi menerima 400 ribu pekerja dan Uni Emirat Arab menerima 250 ribu pekerja.
Sejak harga minyak anjlok, pemotongan pengeluaran yang dilakukan Arab Saudi sangat berdampak bagi industri konstruksi. Perusahaan seperti Saudi Oger Ltd dan Saudi Binladin Group terpaksa menunda memberikan upah dan bahkan harus memecat puluhan ribu pekerjanya. Perlambatan ekonomi di negara tersebut juga telah menggoyahkan permintaan pekerja layanan rumah, yang biasa dilakukan oleh tenaga kerja asal Filipina.
Menurut ekonom World Bank's Development Prospects Group, Dilip Ratha, hilangnya pekerjaan untuk tenaga kerja asing di Timur Tengah dapat dipengaruhi oleh penurunan harga minyak.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah faktor struktural dari bank komersial dan kebijakan nasionalisme dalam pasar tenaga kerja di Arab Saudi yang menghambat permintaan pekerja migran," kata dia.
Arab Saudi memperkenalkan program Nitaqat pada 2011 untuk meningkatkan jumlah warga negara yang bekerja di sektor swasta. Program tersebut bekerja dengan cara merekrut dan melatih warga Arab Saudi. Oleh Fira Nursya'bani, ed: Yeyen Rostiyani