Reruntuhan bangunan dan jalan-jalan yang rusak adalah potret terkini Aleppo, Suriah. Tidak sulit menemukan gedung setengah hancur, bahkan rusak sepenuhnya. Tampak jelas jejak pembombardiran di segala sisi. Kota ini babak belur karena menjadi basis pertempuran pasukan Pemerintah Suriah serta milisi oposisi bersenjata.
Padahal, dulu Aleppo adalah kota terpadat di Suriah. Selama berabad-abad, Aleppo mempertahankan gelarnya sebagai salah satu kota paling penting. Itu juga yang menjadi alasan Aleppo begitu diperebutkan sampai titik darah penghabisan.
Aleppo terletak di barat laut Suriah dan menjadi ibu kota Provinsi Aleppo. PBB menyebutnya kota kuno Aleppo. Badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya, yaitu United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), menobatkannya sebagai salah satu situs warisan dunia. Dulu, Aleppo terkenal sebagai kota kuno yang juga metropolis.
Aleppo menjadi salah satu kota tertua yang pertama kali dihuni di dunia. Menurut ensiklopedia Columbia, Aleppo mungkin sudah dihuni sejak tahun enam milenium sebelum Masehi. Menurut teks Mesir kuno, Aleppo sudah dihuni sejak abad 20 sebelum Masehi. Selama berabad-abad, Aleppo adalah wilayah terbesar ketiga Kesultanan Utsmaniyah setelah Konstantinopel dan Kairo.
Jika dilihat sekilas, sulit menemukan letak keistimewaan kota yang berada di dataran suram dan berdebu itu. Aleppo tidak punya sungai, oasis, pelabuhan, pegunungan, atau kelebihan apa pun yang bisa tampak mata telanjang.
Mengapa Aleppo membuat orang-orang ingin tinggal di sana padahal tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat? Ternyata, orang-orang sejak zaman perunggu merasakan energi geopolitiknya. Mereka tahu Aleppo adalah lokasi yang strategis.
Pemerintah Suriah dan oposisi bertempur memperebutkannya dengan alasan yang sama. Siapa pun yang mengendalikan Aleppo maka ia yang mengendalikan bagian utara negeri.
Aleppo dibangun dari perdagangan selama berabad-abad. Sebagian besar penduduknya sejak awal adalah pedagang, bahkan hingga saat ini. Keahlian berdagang mereka disebut warisan legenda. Ada pepatah mengatakan, "Barang yang terjual di Kairo dalam sebulan, bisa terjual di Aleppo dalam satu satu hari."
Itu menjadikan Aleppo kota yang bernilai tinggi. Penduduknya berasal dari segala latar belakang. Aleppo mencampur orang-orang Arab, Kurdi, Turki, Persia, Yahudi, Armenia, hingga Eropa. Dulu, di sana hidup damai orang yang berbeda agama, etnis, dan budaya.
Pada akhir abad ke-12, setengah dari populasi Aleppo adalah umat Kristiani. Petinggi-petinggi saat itu adalah orang-orang Seljuks, kelompok Turki yang masuk dari Iran dan kemudian menjadi Muslim Suni. Budaya dan arsitektur mereka kemudian bercampur dengan budaya lokal.
Salah satu bukti pencampuran itu adalah Masjid Agung Aleppo yang runtuh saat serangan pada 2013. Masjid ini menyajikan perpaduan unik antara gaya Persia, Arab, dan Turki yang terhampar di dinding masjid. Tak ketinggalan dalam prasasti Islam dan dekorasinya.
Saat awal konflik di Suriah, banyak pengungsi membanjiri Aleppo. Mereka menghindari hukuman di negeri sendiri. Aleppo menyerap mereka semua dan menjadikannya lebih kaya warna.
Pada 2012, saat perang akhirnya mencapai Aleppo, populasi Muslim saat itu mencapai lebih dari 30 persen. Sisanya Kristen dan minoritas lain.
Demografi berubah dengan cepat. Menurut data PBB, saat ini populasinya menurun drastis. Menurut catatan Pusat Biro Statistik Suriah, sensus pada 2004 menyebut Aleppo dihuni sekitar 2,1 juta orang. Pada akhir 2005, jumlahnya meningkat jadi 2,3 juta orang.
Perang sipil membuat setengah populasi menghilang. Populasi di bagian timur Aleppo yang dikendalikan oposisi pada 2015 kabarnya hanya sekitar 40 ribu orang.
Sejarah yang bisa dilihat dari arsitektur Aleppo pun sebagian besar sudah runtuh. Aleppo kembali menjadi ladang tandus dan berdebu. Lebih buruk, tak ada geliat sipil yang berenergi menghidupkan kota. Katedral St Helena, sekolah-sekolah teologi Islam, Mamluk, dan area pasar lainnya sudah hancur dibombardir.
Pasar Mamluk dulunya adalah kumpulan toko yang membentuk seperti labirin ular dan terbuat dari batu. Dalam satu malam bulan September 2012, pasar dibom dan memicu kebakaran hebat. Sebanyak 40 ribu pedagang bangkrut malam itu. Laporan menyebut pelaku pengeboman adalah pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad. n reuters/ap ed: yeyen rostiyani
***
Masa Lalu yang Sejahtera
Aleppo menyaksikan beragam sejarah. Secara sangat singkat, kota ini mengalami jatuh bangun tak berkesudahan. Reruntuhan kuil dari akhir abad milenium ketiga sebelum Masehi masih bisa ditemukan hingga beberapa tahun lalu.
Situs-situs ini berkumpul di sejumlah lokasi benteng abad pertengahan yang terkenal. Situs ini masih mendominasi daerah dan memberi gambaran bagaimana benteng pertahanan yang melindunginya selama berabad-abad.
Aleppo sejahtera secara politik dan ekonomi selama abad 18 sebelum Masehi. Saat itu wilayah Aleppo masih menjadi ibu kota Kerajaan Yamkhad. Mimpi indah berakhir saat kota jatuh ke tangan bangsa Het, bangsa kuno yang berasal dari wilayah Anatolia, sekarang Turki.
Aleppo menjadi kota penting selama periode Hellenistik dan menjadi pos perdagangan antara Mediterania dengan wilayah timur. Aleppo dengan cepat menyerap aura Kekaisaran Roma. Kota ini kemudian sejahtera sebagai penghubung lalu lintas karavan di bawah Pemerintahan Byzantium.
Pada tahun 636 setelah Masehi, Aleppo direbut oleh pasukan Arab Muslim. Sekitar 80 tahun kemudian, di bawah Kekhalifahan Umayyah Sulaiman, Masjid Agung dibangun.
Pada abad 10, Aleppo menjadi ibu kota dinasti Suriah Utara, Hamdanid. Namun, kemudian menderita perang dan kerusakan. Kerajaan Byzantium, Pasukan Salib, Fatamidz, dan Seljuk bertarung memperebutkan wilayah.
Aleppo tidak pulih hingga pertengahan abad ke-12. Kemudian, di bawah dinasti Ayyubi yang merupakan dinasti Muslim asal Kurdi pimpinan Salahuddin al-Ayyubi, kota ini kembali menjadi kota sejahtera dan besar.
Ayyubi memperlebar wilayah kekuasaan hingga ke sekitar. Hingga, pada akhir 1290, Aleppo diserang pasukan Mongol. Kota ini menderita lagi hingga ke titik terburuk pada 1348. Disertai dengan serangan yang menghancurkan oleh bangsa timur pada 1400.
Pada 1516, Aleppo menjadi bagian Kesultanan Utsmaniyah. Tak lama kota ini dijadikan ibu kota dari Provinsi Aleppo itu sendiri. Tak sulit juga membuatnya menjadi pusat perdagangan seperti sedia kala. Aleppo menjadi titik pertemuan oriental dan Eropa.
Kota yang Aman
"Kota itu dulu adalah benar-benar kota Utsmaniyah, kota campuran yang terakhir, hubungan antarpenduduknya sangat baik," kata seorang sejarawan, Philip Mansel, seperti dilansir Washington Post. Ia juga yang menulis buku Aleppo: The Rise and Fall of Syria's Great Merchant City.
Menurut dia, kekerasan sektarian sangat jarang terjadi di Aleppo pada masa Utsmaniyah. Sejauh ia teliti, hanya ada satu konflik inter-komunal pada tahun 1850 dan satu di 1919. Itu pun hanya bentrok kecil-kecilan.
Saat kekuatan Eropa menggempur Kesultanan Utsmaniyah di akhir Perang Dunia I, Prancis menyasar Mosul dan Aleppo. Menilik sumber kekayaan minyak dan kekuatan politik, Mosul akhirnya jatuh ke tangan Inggris bersama Basra dan Baghdad yang saat ini menjadi negara Irak. Sementara, Aleppo bersatu dengan Damaskus dan sekitarnya di bawah kekuasaan Prancis.
Pecahnya Irak dan Suriah saat ini merupakan konsekuensi dari politik modern. Perang dan pemerintahan yang tidak stabil membuat telur-telur pemberontakan serta ektremisme mudah menetas.
Kini, kedua negara dihantui perang tak berujung. Penduduknya tak memiliki pilihan selain tinggal tak punya harapan atau mengungsi dengan membawa beragam masalah. Jika perang berakhir pun, membangun kembali kota-kota bersejarah itu sangat butuh perjuangan teramat keras. Oleh Lida Puspaningtyas/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani
***
Kota yang Diperebutkan
Kota yang memiliki nama Arab "Halab" ini menjadi titik kunci kemenangan dalam perang sipil. Pasukan Pemerintah Suriah masih menguasai ibu kota Damaskus yang berada di selatan. Siapa yang menguasai Damaskus, maka ia menguasai wilayah Selatan.
Pasukan Presiden Bashar al-Assad harus memenangi Aleppo untuk menguasai utara. Sejak tahun pertama perang sipil, Aleppo belum menjadi titik kunci. Aleppo hanya menjadi tempat protes besar-besaran atas kekerasan di wilayah lain.
Namun, sejak protes anti-pemerintah meletus pada Maret 2011, otoritas melakukan apa pun untuk memastikan Aleppo tidak tersentuh. Meski demikian, seiring dengan berkembangnya konflik, kota ini menyaksikan kerusuhan juga.
Dilansir BBC, pada Februari 2012, kota diguncang dua serangan bom. Sasarannya adalah kompleks militer intelijen dan kepolisian. Bentrokan pun mulai sering terjadi di Provinsi Aleppo.
Pada Juli 2012, wilayah industri ini akhirnya berubah menjadi medan perang juga. Saat itu, pasukan oposisi meluncurkan operasi ofensif untuk menumbangkan pemerintahan di sana. Mereka memenangi utara.
Pertempuran sangat intensif hingga menyebar ke pusat kota tua. Bahkan, perang telah menyentuh gerbang Kota Tua, situs warisan budaya yang diakui Badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya yaitu United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Pada April 2013, Masjid Agung yang merupakan peninggalan abad 11 berubah menjadi reruntuhan.
Kekuatan milisi oposisi bersenjata tidak cukup kuat hingga pasukan pemerintah bisa merebut setengahnya. Sejak saat itu, Aleppo timur dikuasai milisi oposisi dan barat dikuasai pemerintah. Tidak ada satu pun yang bisa menghancurkan tembok kekuasaan masing-masing hingga pertengahan 2016.
Pasukan pemerintah menggandeng semua sekutu asingnya, Rusia, Turki, dan Iran, untuk membombardir oposisi di timur Aleppo. Koalisi Assad memutus satu-satunya rute ke timur sehingga 250 orang terperangkap. Puluhan pertemuan dilakukan, kesepakatan gencatan senjata diajukan, tetapi semuanya hanya tarik ulur.
Sejak akhir 2013, pasukan pemerintah sering melakukan kampanye udara mematikan. Bom-bom barel berjatuhan seperti hujan. Pasukan Assad menyasar titik-titik lemah oposisi dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Meski tak jarang, sipil tak bisa mengelak.
Pada Mei 2015, Amnesty International memperingatkan kehidupan warga sipil di sana sangat tidak bisa tertahankan. Pemerintahan Barat dan kelompok-kelompok HAM internasional menuduh pasukan pemerintah dan milisi oposisi sedang mementaskan kejahatan perang.
Pada akhir November, koalisi Assad akhirnya mencapai kesepakatan dengan milisi oposisi. Mereka setuju untuk mundur dari timur Aleppo. Assad memenangi wilayah. "Apa yang terjadi hari ini adalah sejarah yang dicatat setiap warga Suriah," kata Assad, Kamis lalu.
Putra dari Presiden Hafez al-Assad ini bahkan menyinggungkannya dengan kelahiran Yesus Kristus, penerimaan wahyu Nabi Muhammad SAW, dan jatuhnya Uni Soviet. Mantan dokter ini mengatakan, kemenangan Aleppo telah membawa perbedaan secara regional dan internasional.
"Sejarah ini dibuat ini adalah lebih besar daripada kata selamat. Semua orang mengucapkan selamat sekarang," kata pemimpin Suriah sejak tahun 2000 ini. Oleh Lida Puspaningtyas/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani