Budaya menyatukan Muslim di Cina.
Tiangfang Jiao, demikian bangsa Cina menyebut Islam yang mereka kenal sejak abad ke-8 M dengan istilah agama orang Arab.
Ketika masuk ke daratan Cina, Islam mampu memberikan pengaruh yang signifikan, bukan hanya soal konsep teologi, melainkan juga akulturasi budaya. Budaya Islam bisa berselaras dengan tradisi lokal masyarakat Cina.Salah satunya, tampak dari tradisi pernikahan.
Foto:wordpress.com
Bagi komunitas Islam di Cina perayaan pernikahan berarti memadu kan tradisi kedua entitas budaya ter sebut. Bagi masyara kat Cina non-Muslim, sejumlah tradisi lokal kerap dilakukan dalam pelaksanaan pernikahan, antara lain, mempelai perempuan yang identik dengan gaun merah. Warna ini, konon menurut kepercayaan kuno mereka, bermakna keberuntungan.
Ada pula tradisi "red lai", yaitu paket uang dengan maksud untuk mening katkan taraf kekayaan pa sangan tersebut. Keyakinan Cina kuno juga mewajibkan penulisan karakter di atas kertas merah dan dibakar dengan petasan sebagai upaya mengusir roh jahat. Prosesi pembacaaan ramalan bintang juga tak boleh dilewati. Hal ini bertujuan agar keduanya memiliki arah jelas dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Semua mitologi kuno tersebut ditanggalkan dalam tradisi pernikahan Islami di Cina. Adapun yang diper tahankan hanya gaun pengantin ber warna merah. Pernikahan berlang sung di masjid. Tak sedikit masjid yang menyelenggarakan praktik-praktik keagamaan, seperti menyediakan jasa pernikahan.
Dalam pernikahan tersebut, sang imam membacakan khutbah per ni kahan, lalu menyatakan sah sebagai pasangan suami istri. Dalam kesempatan itu sang suami harus memberikan pakaian dan perhiasan sebagai sebuah hadiah.
Sebagian komunitas Muslim di Cina memiliki tradisi tersendiri. Bagi Muslim minoritas, seperti etnis Hui yang berketurunan Arab dan Per sia, pernikahan sangat eksklusif.
Me nurut mereka, menikah dengan luar kelompok ras Hui sangat tidak dianjurkan. Tetapi, jika seorang Hui ingin menikahi seorang non-Hui, sese orang tersebut harus menghormati budaya, bahkan menerima Islam dalam hidupnya.
Komunitas Uyghur di Xinjiang yang bergaris keturunan Turki, me mi li ki tradisi khas lainnya. Kedua mempelai saling berbagi roti asin sebagai lambang cinta dan kesetiaan pada awal pernikahan. Yang pertama mengambil roti, akan dianggap lebih loyal.
Menurut tradisi, saat upacara perni kah an, kue beras merupakan hadiah yang wajib diberikan. Setelah upacara pernikahan selesai, biasanya pihak keluarga menyembelih sapi. Daging olahan tersebut akan dijadikan sebagai hidangan bagi para tamu dan hadiah bagi dhuafa.
Terlepas dari itu semua, ada kesa maan yang ditunjukkan dalam perayaan pesta pernikahan Muslim Cina. Perbedaan kecil hanya tampak dari selera makanan. Muslim Cina di Utara lebih menyukai makanan dari olahan daging pedas. Sedangkan, orang Cina Selatan lebih menyukai kudapan permen. Budaya menyatukan Muslim di Cina.
Dampak globalisasi Arus globalisasi sedikit banyak telah menggeser upacara tradisional tersebut. Apalagi semakin menjamur nya warga asing yang bermukim di Cina. Yang paling mencolok, mempelai perempuan tak lagi mengenakan gaun berwarna merah, tetapi berganti gaun putih khas orang Barat dengan sentuhan jilbab. Pergeseran ini bisa ditemui di kota-kota besar, seperti di Beijing, Shanghai, dan Guangzhou.
Demikian pula, soal makanan hidangan, kue beras tak lagi menjadi pilihan utama. Si empunya hajat, lebih memilih menu sesuai selera mereka.
Pernikahan berlangsung di sebuah tempat kecil, sekadar pesta kecilkecilan, dan lebih menekankan privasi.Sentuhan tradisi Cina yang unik tak begitu dilirik, tetapi lebih mengarah pada inovasi tradisional dan modern.
Meski demikian, pernikahan tra di sional masih dipertahankan oleh masyarakat pedesaan. Hal ini membuat tak sedikit warga perkotaan yang memilih melangsungkan pesta pernikahan mereka di desa agar nuansa tradisional tetap terjaga.
Budaya Islam berakulturasi secara mudah dengan tradisi lokal Cina selama berabad-abad.rep:c70, ed: nashih nashrullah
Menjadi Kambing Hitam
Menurut Pew Research Centre, jumlah warga Muslim di Cina mencapai 21,6 juta jiwa.Tapi, jumlah tersebut hanya sekitar 1,6 persen dari total penduduk Cina. Sebagian besar warga Muslim Cina berasal dari suku Hui dengan jumlah hampir mencapai 10 juta jiwa.
Suku ini muncul sekira abad ke-10 pada masa kekuasaan Dinasti Song.Dan dewasa ini, suku Hui banyak terkonsentrasi di Xinjiang.
Sumber lain menyebutkan, istilah Hui muncul pada era Dinasti Ming. Is lam saat itu dikenal dengan nama Tiang fang Jiao yang artinya agama bangsa Arab.
Islam juga disebut Hui Hui Jiao, yakni agama bangsa Hui. Dari sejarah itu, kemudian Muslim Cina dari etnis apa pun disebut sebagai orang Hui.
Kaum Muslim Hui dan Uyghur pada umumnya berada di wilayah bagian Barat Laut Cina. Sedangkan Muslim lainnya, seperti Yunan, berada di bagian Barat Daya Cina.
Kondisi Islam di Cina mulai berubah pada abad ke-20, yakni saat Cina memasuki era republik. Saat pe merintahan Cina baru berdiri, pemerintah banyak membuat kebijak an bagi warga Muslim. Islam yang dalam sejarahnya berkembang pesat mulai menurun sehingga warga Muslim menjadi kelompok minoritas.
Namun, sebagai kelompok minoritas Muslim Cina tak segan menampilkan identitasnya. Para pria Muslim dengan bangga memakai peci dan menumbuhkan jenggot, sedangkan para Muslimah mengenakan jilbab.
Banyak juga warga Muslim Cina yang membuka restoran dengan logo halal.Untuk fasilitas ibadah, Muslim Cina juga memiliki beberapa masjid.
Perayaan Hari Raya Idul Fitri juga sangat ramai, bahkan acara buka puasa di masjid merupakan hal yang wajib saat Ramadhan.
Muslim Cina lebih menyukai hidup secara berkelompok. Mereka membentuk komunitas, bahkan per kampungan Muslim di Wuzhong. Di sana, sekitar 3.000 warga Muslim dengan 90 kepala rumah tangga ber kumpul membentuk perkampungan Muslim.
Namun, kenyamanan dan kebahagiaan Muslim Cina yang terlihat hidup nyaman dan bahagia, tidak 100 persen sesuai fakta. Karena, ancaman sering kali datang menghantui mereka.
Muslim Cina sering kali menjadi objek pembantaian, terutama di kawas an Xinjiang yang memang menjadi tempat kebanyakan Muslim Cina. Dika barkan oleh VOA Islam, banyak terjadi pembantaian di sepanjang sejarah Muslim Cina.
Menurut VOA, Muslim Uyghur sering menjadi kambing hitam dari Pemerintah Cina atas aksi kekerasan di Kota Urumqi, Provinsi Xinjiang. Di Xinjiang, selama 2009 telah terjadi ketegangan antara suku Muslim Uighur dan suku Han yang mendominasi daratan Cina.
Konflik tersebut menyebabkan sedikitnya 197 orang tewas, 1.700 orang terluka, dan 1.434 Muslim Uighur diculik serta dihukum Pemerintah Cina. rep:c70, ed: nashih nashrullah