Meski kurban banyak menjadi tradisi para nabi terdahulu, bahkan sejak zaman Nabi Adam AS, tatkala Qabil dan Habil mengurbankan harta mereka, tetapi menurut Prof Ahmad Thib Raya, syariat kurban baru diperintahkan kepada Nabi Ibrahim AS, yang kemudian dikisahkan pada pengikut agama Tauhid, dan menjadi kisah penting dalam agama samawi, baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam. "Kurban Qabil Habil bukan pada aspek syariah,"kata pakar tafsir ini. Berikut perbincangan wartawan Republika Amri Amrullah, dengan guru besar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini:
Foto:dokpri
Syariat berkurban ada sejak Adam AS.Menurut Anda?
Memang di dalam satu ayat Alquran dijelaskan mengenai peristiwa Habil dan Qabil dalam surah al-Maidah ayat 27. Kedua putra Nabi Adam tersebut mempersembahkan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, dijelaskan dalam Alquran, Allah hanya menerima nilai ibadah kurban Habil dan menolak kurban yang dilakukan Qabil.
Namun, kurban yang dijelaskan tersebut, bukan pada aspek syariah. Meski keduanya berkurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Syariat kurban baru diperintahkan kepada Nabi Ibrahim AS, yang kemudian dikisahkan pada pengikut agama Tauhid, dan menjadi kisah penting dalam agama samawi, baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam.
Tradisi pengurbanan ada di tiap peradaban?
Mengorbankan hewan atau daging hewan kepada Tuhan atau sesembahan memang dilakukan di hampir setiap peradaban manusia, tidak terkecuali anjuran tersebut muncul dalam ajaran Tauhid. Sama halnya seperti ajaran Tauhid, tujuan pengurbanan hewan tersebut untuk ibadah dan mendekat kan diri kepada Tuhan.
Namun, yang membedakan syariat kurban dalam Islam adalah pengurbanan hewan tersebut bukan sebagai sesajen atau daging hewan tersebut tidak dipersembahkan kepada berhala sesembahan, layaknya beberapa agama lain.
Lantas, di mana letak perbedaannya?
Syariat kurban dalam Islam bermakna dua hal, transendental dan sosial. Dalam syariat Islam, sangat jelas bahwa kurban memiliki sisi sosial bagi masyarakat sekitar. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, dalam Islam, setiap ibadah selain untuk mengikat hubungan transendental (hablun minallah) kepada Sang Pencipta, ibadah dalam Islam selalu menyisipkan sisi sosial (hablun minannas).
Hewan yang disembelih dalam ibadah kurban, dagingnya harus dibagikan ke pada masyarakat yang membutuhkan. Bah kan, Islam memerintahkan kepada orang yang berkurban (shahibul qurban) untuk mem bagikan kepada saudara yang sangat mem butuhkan seperti para dhuafa dan fakir miskin. Meski dalam syariat tetap membolehkan bagi shahibul qurban untuk mengambil sedikit daging dari hewan yang ia kurbankan.
Namun, bagi seorang Muslim yang ingin berkurban tapi tidak mampu, Islam mengajarkan syariat ini bisa diganti dengan berpuasa selama tiga hari. Kembali lagi, Islam berusaha menjelaskan bahwa puasa ini adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang secara bahasa sama seperti istilah qaraba.
Esensi kurban adalah ketakwaan bukan penyembelihan hewan?
Dalam Alquran dijelaskan dalam surah Al Hajj, ayat 37, "Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, namun ketakwaan darimu lah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."
Dalam ayat tersebut dijelaskan kurban dalam syariat Islam selain upaya untuk mendekatkan diri juga untuk mencapai ketakwaan. Karena daging hewan yang dikurbankan tersebut tidak akan sampai kepada Allah SWT, kecuali ketakwaan dari mereka yang menyembelih kurban.Ketakwaanlah esensi kurban dalam syariat Islam bukan hanya sekadar penyembelihan.
Seperti apa kontekstualitasi kurban dalam kehidupan sehari-hari?
Bila ibadah kurban tersebut dikontekskan pada saat ini, dalam kehidupan beragama jelas seperti yang disampaikan dalam Alquran bahwa kurban upaya mendekatkan diri, untuk mencapai tingkat keimanan hingga level ketakwaan.
Sedangkan pada dimensi sosial, kurban dalam syariat Islam menegaskan bahwa mereka yang mampu harus peduli pada kehidupan masyarakat sekitar. Khususnya bagi mereka yang tidak mampu, yakni dengan memberikan daging sembelihan. Inilah perwujudan nilai sosialnya.
Kemudian, dari sisi berbangsa dan bernegara, kurban adalah cara umat Islam mewujudkan bangsa yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negara yang baik dan selalu dalam ampunan Allah).
Yakni, negara yang masyarakatnya hidup sejahtera dan jauh dari ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi. Ini juga terdapat pada hikmah ibadah lain dalam Islam seperti zakat, infak, dan sedekah. ed: nashih nashrullah