REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Munculnya fenomena gaya hidup lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) akhir- akhir ini sudah seyogianya menjadi perhatian keluarga maupun dunia pendidikan.
Terjadinya perilaku menyimpang di kalangan remaja tersebut dikhawatirkan dapat mengancam masa depan generasi muda apabila tidak segera disikapi secara serius.
Berbagai penyakit menular dan mematikan seakan mengintai mereka yang senantiasa melakukan perbuatan yang berlawanan dengan kodratnya sebagai manusia tersebut. Adapun hilangnya generasi penerus (lost generation) merupakanancam an terbesar yang akan dihadapi oleh negara yang abai terhadap maraknya fenomena perilaku menyimpang itu.
Timbulnya kecenderungan terhadap sesama jenis sebenarnya bukan hal baru di dunia kesehatan. Berbagai faktor (diduga) menjadi penyebab seseorang mengambil pilihan tersebut (menjadi gay atau lesbian) sebagai jalan hidupnya.
Mulai dari faktor genetika, kondisi lingkungan, sampai dengan kejadian yang pernah menimbulkan trauma bagi dirinya berpotensi menjadi pemicu terjadinya perilaku menyimpang tersebut. Bahkan, pola asuh yang dijalankan oleh orang tua pun turut berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa selanjutnya.
Sayangnya, kondisi semacam ini kurang begitu disadari oleh masyarakat kita. Di sisi lain adanya anggapan, sebagian kalangan bahwa homo seksualitas merupakan sesuatu yang natural dan bukan meru pakan hal yang ganjil patut kita sayang kan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memang telah mengeluarkan homosek sualitas dari kategori penyakit. Namun, lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut mencatat bahwa kaum gay dan transgender memiliki risiko 20 kali lebih besar untuk tertular penyakit HIV-AIDS dibandingkan dengan mereka yang menjalin hubungan secara normal (dengan lawan jenis).
Untuk melindungi anak-anak kita dari berbagai perilaku yang menyimpang, orang tua sebaiknya dapat berperan aktif dalam menjalin komunikasi dengan anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua diharapkan mampu memosisikan diri mereka sebagai pembimbing sekaligus mitra berdiskusi tentang permasalahan yang dialami oleh anaknya.
Adapun guru hendaknya mampu mem berikan wawasan kepada siswanya tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi mereka. Mengajak siswa untuk mengenal contoh-contoh perilaku me nyimpang yang tidak boleh dilakukan dapat menghindarkan mereka dari perbuatan yang membahayakan tersebut.
Ramdhan Hamdani, SPd Guru SDIT `Alamy Subang, Jawa Barat
Mengikat Ilmu dengan Tulisan
Perintah untuk menuntut ilmu dalam ajaran Islam sangatlah sering disebutkan baik dalam hadis Rasulullah SAW, seperti "Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat", bahkan dalam Alquran surah al-'Alaq ayat 1-5.
Ilmu sendiri diibaratkan oleh Imam Syafi'i sebagai bina tang buruan yang harus di ikat dengan tulisan. Syair yang dimak sud berbunyi, "Ilmu itu bagaikan binatang buruan sedangkan pena adalah pengikatnya. Maka, ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat."
Tulisan menjadi faktor penting dalam berkembangnya ilmu pengetahuan. Tulisan yang bagus akan selalu menghasilkan hasil karya bagus sehingga banyak pembaca yang berminat untuk membacanya. Namun pada kenyataannya, banyak di antara kita yang memiliki hobi membaca, memiliki cukup ilmu pengetahuan, tetapi tidak berani untuk menyalurkannya dalam bentuk tulisan.
Kurangnya minat menulis banyak disebabkan oleh alasan tidak punya skill me nulis. Padahal, dalam menulis tidak dibutuhkan skill khusus kecuali hanya dengan pemahaman konten tulisan. Kunci utama untuk belajar menulis adalah memulainya. Menulis tidak hanya diperuntukkan kalangan yang level belajarnya sudah tingkat tinggi, dosen, atau ilmu wan.
Siapa saja dapat menulis, tanpa memandang latar belakang perekonomian maupun pendidikan.
Memulai menulis pun tidak harus dengan menulis artikel ilmiah atau jurnal. Kita dapat memulainya dengan hal yang ringan, seperti menulis buku harian. Meski sekadar buku harian, tetapi dengan menulisnya setiap hari secara tidak langsung akan membuat kita terlatih menggunakan bahasa tulisan yang baik.
Menulis juga dapat menjadi sebuah amalan jariyah bagi para penulisnya. Ketika pem baca selalu mengingat sebuah tulisan, terutama ketika pembaca dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka si penulis akan mendapatkan pahala atas tulisan yang memberikan manfaat. Semakin banyak pembaca dan semakin banyak ilmu dari tulisan tersebut yang diamalkan maka paha la yang didapatkan penulis juga akan semakin bertambah.
Oleh karena itulah, menulis itu sangatlah penting. Dengan memulai dan mem biasakannya, bahasa tulisan kita akan dapat semakin terasah, selain itu ilmu kita juga akan semakin berkembang.
Setelah mengibaratkan ilmu sebagai binatang buruan dan tulisan sebagai pengikatnya, pentingnya menulis juga disampaikan oleh Imam Syafi'i pada baris kedua syairnya yang berbunyi "Alangkah bodohnya jika kamu mendapatkan kijang (binatang buruan), namun kamu tidak mengikatnya hingga binatang buruan itu lepas di tengah- tengah manusia." Marilah menulis agar bermanfaat untuk umat. Wallahu a'lam.
Deansa Sonia H, SIP Alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)