Ahad 21 Aug 2016 17:42 WIB

Kota Es Krim, Ragusa

Red: Arifin

Dalam waktu dua jam dari Catania, bus membawa saya menuju Kota Ragusa. Saya terhenyak saat bus melintasi Jembatan Guerrieri di Desa Modica, salah satu jembatan tertinggi di Eropa (300 meter), pemandangannya lumayan membuat jantung berdesir. Setelah melintasi jembatan tersebut, rupanya kami sudah semakin dekat dengan Ragusa.

Mulai terlihat keindahan panorama kota itu dengan perumahan khas yang seperti bertumpuk-tumpuk. Satu hal terlintas di benak adalah saat mendengar kata Ragusa adalah nama es krim legendaris 'Ragusa' di Jakarta (dan cabangnya di Bandung), Indonesia. Ah, mungkin memang hanya kebetulan orang Italia yang membuka toko es krim tersebut menamainya Ragusa.

Tapi, setelah diusut lebih lanjut, ternyata saya tahu sebabnya.Es krim di Ragusa adalah es krim nomor 1 di Italia! Kamu harus coba! papar penduduk lokal. Alhasil, saya langsung membeli di gelateria favorit. Beberapa rasa khas ditawarkan, antara lain, ciocolatta (cokelat), bacio (hazelnut cokelat), caffe (kopi), pesca (peach), dan pistachio. Saya menyendok es krim yang bertumpu di atas cone (lucunya karena double scoop, double cones juga).

Benar kata mereka.. es krim Ragusa sangatlah enak, lembut, manisnya pas dan ada cita rasa khas di sana ... juara! Menjelajahi Ragusa Ibla Tak terasa, es krim mudah meleleh dan cepat habis saat panas. Saya pun membeli lagi di kedai lain, kali ini es krim dengan brioche (roti empuk bulat khas Italia). Brioche yang hangat ditangkupkan dengan isian es krim Ragusa yang dingin menjadikan sajian ini memiliki sensasi tersendiri. Usai menikmati tujuan nomor wahid di Ragusa: es krim, saya pun mulai menapaki keantikan kota ini.

Tak heran Ragusa termasuk salah satu UNESCO World Heritage Site. Banyak sekali situs bersejarah yang dilindungi di sini. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur barok umum dijumpai di sini. Gempa bumi hebat pada 1693 mematikan setengah dari populasi dan menghancurkan kota. Kota Ragusa terbelah menjadi dua sehingga mereka harus membangunnya dari awal, sebagian membangun Ragusa 'superior' sebagai kota baru dan Ragusa Ibla, merupakan pusat historis kaya akan bangunan antik, sebagian besar bergaya arsitektur barok.

Mengikuti rute peta, saya menikmati situssitus UNESCO di Ragusa Ibla. Pertama, Gereja Portale San Giorgio yang tidak seperti kebanyakan bangunan Ragusa Ibla yang bergaya barok. Gereja ini bergaya gothic katalan karena adanya pengaruh Spanyol. Lalu, beralih ke gereja kedua, Chatedral St Giouseppe, di mana suara denting piano bergema di pelataran gereja.

Ternyata, sedang berlangsung kompetisi piano 'International Ibla Grand Prize'. Carob dari Arab Setelah berjalan menyusuri gang-gang khas Italia yang sempit dan menanjak dengan perumahan berwarna tanah, akhirnya saya sampai di katedral terbesar di Kota Ragusa: Cathedral di Giorgio. Setelah gempa hebat, kota ini dibangun lagi dari awal, begitu pun gereja ini. Uniknya, lantaran tak bisa menemukan material untuk membangun gereja setelah gempa, maka mereka hanya menggunakan material murah.

Untuk menambah kesan mewah, altar dan hiasannya dibuat dengan kayu/kaca tapi dipoles sedemikian rupa dengan cat emas dan plester arstistik yang memberi kesan bahwa material terbuat dari batu-batu mahal layaknya marmer, granit, dsb. Peninggalan Arab lagi-lagi masih memberikan pengaruh sampai di Kota Ragusa.

Dari bangsa Arablah masyarakat Sisilia dikenalkan dengan tanaman carob (khas Timur tengah) yang sekarang menjadi komoditi utama Sisilia (72 persen dari produksi agrikultur). Sepanjang perjalanan ke Ragusa, pantas saja terlihat banyak sekali pohon-pohon carob. Warga lalu menggunakan carob ini untuk ditambahkan ke cokelat, permen, kopi, bahkan bunga carob digunakan untuk campuran biskuit.

Kata 'karat' dalam unit kemurnian emas, rupanya juga berasal dari biji carob sebagai unit berat terkecil. Penasaran dengan rasa carob, saya pun singgah ke sebuah toko cokelat-carob terkenal di Ragusa. Selain mencampur cokelat dengan bubuk carob, cokelat ini juga terkenal dan spesial. Mengapa? Sebab, sama sekali dibuat tanpa menggunakan bahan tambahan, tanpa butter atau zat emulsi lainnya, apalagi pengawet; murni dari cokelat murni dan gula.

Konon, mereka menggunakan resep asli dari suku Maya, Aztek. Saya pun menggigit cokelat carob yang teksturnya ringan, tapi keras (tidak bisa dipatahkan dengan tangan seperti cokelat batangan biasa). Rasanya juga berbeda karena gulanya tidak meleleh saat proses pembuatan, jadi terasa natural dan masih berpasir saat menyentuh lidah.   

Oleh Vanya Vabrina Valindria, 

Traveller, mahasiswi, ibu rumah tangga tinggal di London, ed: Nina Chairani 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement