Ahad 20 Nov 2016 16:15 WIB

Sepotong 'Surga' di Raja Ampat

Red:

Sebagai traveler Indonesia yang tinggal di luar negeri, tak sah rasanya jika saya tidak mengunjungi Raja Ampat, salah satu tempat wisata, yang tengah booming dalam kepariwisataan internasional. Apalagi, sekitar lima tahun yang lalu saudara ipar saya, yang notabene pelancong wisata dunia, pernah memasukkan Raja Ampat sebagai tujuan wisatanya. Saya merasa tertantang dan berkewajiban ke Raja Ampat. Akhirnya baru musim panas tahun ini petualangan ke tempat itu terwujud.

Karena Raja Ampat bukan petualangan wisata biasa, jauh-jauh hari kami telah mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari tour guide, tiket pesawat, dan perlengkapan yang mesti dibawa. Sejak beberapa bulan sebelum kedatangan ke Tanah Air, saya sudah berkomunikasi intensif dengan Fitri Abhyasa, pemandu wisata dari Raja Ampat. Saya mengenalnya melalui media sosial.

Kami sengaja mengambil paket tur langsung di Raja Ampat karena dapat memangkas biaya petualangan di sana. Fitri Abhyasa memasang tarif Rp 5,5 juta (empat hari tiga malam) per orang untuk beberapa spot penting Raja Ampat, termasuk Wayag dan Piaynemo. Harga tersebut minimal  untuk enam hingga delapan peserta, sudah termasuk semua akomodasi,  makan selama di sana, kartu atau pin untuk masuk ke area Raja  Ampat. Awalnya, untuk tur Juli ini baru  tiga orang (saya, suami, dan anak saya berusia 11 tahun). Kemudian, saya dan Fitri bergerilya mencari traveler lain, yang berniat ke Raja Ampat. Alhamdulillah, menjelang hari H, tim kami telah genap delapan orang. Bahkan, ada tambahan dua turis asing.

Perjalanan Panjang

Petualangan  dimulai. Kami dan seorang peserta dari Batam yang bernama Hendri sepakat berangkat Ahad dengan pesawat yang sama dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Bandara Dominique Edward Osok, Sorong, Papua Barat. Sedangkan, peserta lain berangkat satu hari sebelumnya. Tiket Jakarta-Sorong pada Juli cukup mahal, berkisar Rp 2 juta hingga Rp 3 jutaan. Kami pun dapat tiket seharga Rp 2.764.800  untuk satu orang (sekali jalan) dengan lama perjalanan 4 jam 10 menit dan jadwal penerbangan  pukul 01.10 sampai pukul 07.20. Kami sengaja memilih penerbangan langsung supaya praktis. Bagi  saya dan kebanyakan traveler, harga sekali jalan untuk penerbangan domestik tersebut cukup mahal. Pantas saja ketika saya membujuk teman-teman untuk terbang ke Raja Ampat, mereka berpikir seribu kali.

Perjalanan  pesawat berjalan lancar. Enggannya saya terbang ke Papua salah satunya karena musibah pesawat yang terjadi di sana. Pukul 07.20 pagi kami tiba di Bandara Domine Eduard Osok Sorong. Bandaranya kecil, tapi cukup bagus. Di pintu masuk bandara, kami dijemput Fitri dengan mobil travel-nya, yang telah menunggu sejak awal pagi. Dari sana kami beranjak ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 15 menit dari bandara. Di sebuah kedai dekat pelabuhan feri, peserta lain telah berkumpul. Kami saling mengenalkan diri dan bertukar kabar.

Pelabuhan feri di Sorong ini sangat penting untuk transit calon traveler yang ingin ke Raja Ampat, terlebih banyak turis asing yang ingin ke sana. Sayangnya, fasilitas di sana seperti toilet umum sangat sulit. Salah seorang peserta sempat ingin buang air kecil, tetapi di kedai yang terbilang sederhana itu tidak ada toilet. Dengan diantar Fitri, ia pun mencari-cari toilet. Tetapi, hasilnya nihil. Akhirnya ia terpaksa masuk satu bangunan kosong yang tak terpakai, dan menemukan toilet yang tak terawat.  Sebuah botol air mineral pun dipakai sebagai bilasnya.

Jadwal keberangkatan kapal feri sekitar pukul 09.00. Kami semua bergegas menuju kapal. Cuaca di pelabuhan sangat panas, belum apa-apa tubuh sudah banjir keringat. Padahal, jarak menuju kapal tidak sampai lima menit berjalan kaki. Sebelum naik kapal feri yang tiketnya dibanderol sebesar Rp 130 ribu per orang untuk dewasa (anak-anak gratis), Fitri mewanti-wanti kami agar membeli kue-kue seperti biskuit untuk makanan ikan-ikan saat snorkeling nanti.

Kapal Fery kami yang sedianya berangkat pukul 09:00, terlambat sekitar dua jam. Pukul 11 siang kapal baru berangkat menuju Kota Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Perjalanan ke Waisai diperkirakan dua jam. Beberapa saat setelah kapal berlalu, saya merasakan lapar. Lantas, Fitri menawarkan kue-kue seadanya yang sengaja ia bawa dari Sorong. Perkiraan Fitri, pukul 14.00 kami sudah tiba di penginapan di Wayag dan tentunya telah tersedia makan siang di sana. Tapi, lantaran keterlambatan feri, situasinya menjadi beda. Di kapal tersedia kedai sederhana yang menjual makanan ringan, minuman, mi instan, dan telur rebus. Peserta yang tak tahan lapar membeli mi instan dan telur rebus untuk mengganjal perut.

Kapal feri merapat di Pelabuhan Waisai. Ada beberapa petugas memeriksa pin-pin peserta tur. Masing-masing dari kami sebelumnya telah dibekali Fitri kartu yang disebut pin sebagai tanda masuk ke area Raja Ampat. Harga satu pin untuk WNI sebesar Rp 500 ribu, untuk WNA sebesar Rp 1 juta, sedangkan anak-anak di bawah usia 12 tahun gratis. Agak ribet juga perihal pin ini karena petugas sampai membuat foto diri dan peserta tur yang berkewarganegaraan asing. Sampai sekarang saya tidak mengerti tujuan pembuatan foto-foto tersebut.

Setelah urusan administrasi beres, rombongan kami kembali ''melaut' menuju Wayag, dengan alat transportasi yang lebih kecil, yakni dengan speedboat. Sudah ada dua awak kapal yang menunggu kami di dalam speedboat. Kapal kecil berkekuatan 85 knot sengaja disewa Fitri selama tur kami di Raja Ampat. Perjalanan ke pulau yang menjadi ikonnya Raja Ampat itu pun hanya ditempuh dalam dua jam.  Akhirnya menjelang pukul lima sore perjalanan panjang kami berakhir di sebuah homestay.n

Homestay Prajas

Rasa senang saya rasakan saat berlabuh di homestay Prajas yang ada di Waigeo, tepatnya di Desa Salio. Perjalanan keluarga kecil saya yang dimulai tengah malam dari Jakarta akhirnya berbuah manis di penginapan. Bagaimana tidak, di gubuk makan homestay, tak jauh dari pintu masuk, Pak Anwar (pengurus homestay) dan istrinya Bu Ratna, langsung menyambut kami (yang membawa perut kosong) dengan ramah.

Mereka mempersilakan kami melahap hidangan, seperti teh dan kopi panas, ubi goreng, dan pisang goreng panas. Menu berat yang didominasi masakan laut pun tersedia juga. Jumlahnya cukup banyak. Rasanya jangan ditanya, lezat. Makanan yang terbilang sederhana, tapi bagi kami yang berada nun jauh di timur, sudah sangat luar biasa. Rasanya menyeruput kopi panas plus ubi jalar khas Raja Ampat di gubuk berlantai pasir, dengan pemandangan pantai dan teluk yang indah, adalah sebuah berkah tersendiri.

Makanan di penginapan Prajas diolah sendiri oleh istri Pak Anwar, yang asli Raja Ampat Kebanyakan menunya dari laut. Bahkan, kami sempat dimanjakan oleh hidangan lobster besar oleh keluarga Muslim itu.

Di Prajas tersedia beberapa bungalo beratap daun-daun kering tanaman setempat. Hal yang unik, tempat tidurnya dilengkapi kelambu. Aliran listrik di bungalo tersedia mulai pukul 18.0006.00 pagi. Beberapa kamar mandi dan toilet juga tersedia di sana. Cukup bersih dan modern, dengan dilengkapi shower dan WC duduk. Di halaman bungalo terhampar pasir putih. Ada jemuran, ayunan tali, meja makan, dan sebuah pondok terbuka di bibir pantai.

Pria berdarah Maluku ini sangat memperhatikan kebersihan. Anak-anak Pak Anwar tak sungkan membantu ayahnya. Bahkan, bisa menjadi teman bermain bola anak kami, jika sedang rehat. Merasakan kehangatan Pak Anwar dan keluarganya, plus makanan yang tak pernah putus, rasanya tidak mahal jika tarif di sana sebesar Rp 500 ribu per harinya.      

OLEH ROSITA SIHOMBING

Traveler, tinggal di Paris, Prancis, ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement