Jumat 05 Sep 2014 18:30 WIB

IDI Minta Dokter tak Disamakan dengan Penjahat

Red:

JAKARTA --  Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berharap kepada majelis Mahkamah Konstitusi (MK) minta perlakuan khusus kepada dokter. Yakni, tidak menyamakan dokter dengan penjahat jika terjadi malapraktik.

"Kami mohon kepada majelis hakim yang mulia untuk tidak memberlakukan kepada kami profesi dokter ketentuan-ketentuan atau norma-norma hukum yang biasa diberlakukan untuk penjahat atau kriminal," kata Ketua Umum IDI Zaenal Abidin saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang pengujian UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di Gedung MK,Jakarta, Kamis (4/9), seperti dikutip Antara.

Zaenal meminta MK memberikan ketetapan hukum tentang prosedur hukum yang khusus (lex specialist) dalam menilai dan menentukan seorang dokter benar atau salah dalam menjalankan pekerjaan profesinya sebagai dokter.

"Memberlakukan proses pemeriksaan yang berjenjang/bertingkat dimulai dari proses pemeriksaan etika dan disiplin di MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dan MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sebagai proses pemeriksaan tingkat pertama," kata Zaenal.

Menurut dia, pemeriksaan tingkat pertama ini berfungsi sebagai penapis atau penilai apakah ada pelanggaran hukum atau tidak atas tindakan dokter tersebut. Apabila tidak ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka proses pemeriksaan dan pemberian sanksi cukup diputus di MKEK dan MKDKI. Tetapi, apabila ditemukan indikasi pelanggaran hukum maka akan diteruskan ke kepolisian atau pengadilan.

Zainal juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun dokter dalam menjalankan pekerjaan profesinya memberikan pelayanan kesehatan yang bermaksud buruk dan niat jahat kepada pasiennya layaknya seorang kriminal.

Pengujian UU Praktik Kedokteran ini dimohonkan oleh Dokter Indonesia Bersatu (DIB), yang diwakili oleh dr Eva Sridiana Sp P, dr Agung Sapta Adi Sp An, dr Yadi Permana Sp B Onk, dan dr Irwan Kreshnamurti Sp OG. Mereka menguji Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, yakni ketentuan melaporkan dokter ke pihak yang berwenang karena adanya dugaan tindak pidana.

Pemohon menilai, Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran memiliki interprestasi luas tentang tindakan yang digolongkan sebagai tindak pidana. Sehingga, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan ancaman ketakutan dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada masyarakat.

Mereka meminta tindakan kedokteran yang dapat dibawa ke ranah hukum pidana dibatasi dalam dua kondisi. Yakni,  tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) dan tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (culpa lata).

Pemohon mencontohkan, tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan adalah melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan UU. Sedangkan tindakan kelalaian dokter, misalnya, tertinggalnya peralatan medis dalam tubuh pasien, operasi yang seharusnya pada kaki kanan keliru pada kaki kiri dan seterusnya. Selain kedua tindakan tersebut, lanjutnya, tidak tepat dan tidak dapat dijadikan objek tindak pidana.

ed: muhammad hafil

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement