Republika/Tahta Aidilla
Kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang berat pada tiga tahun tersisa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, angka kemiskinan di Tanah Air berangsur turun, hanya saja belum signifikan.
Angka kemiskinan sempat melonjak pada lima bulan pertama kepemimpinan Jokowi. Pada Maret 2015 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah penduduk miskin bertambah 860 ribu orang menjadi 28,59 juta dari posisi September 2014. Setahun berselang atau tepatnya Maret 2016, jumlah penduduk miskin berkurang 580 ribu orang menjadi 28,01 juta orang.
Persentase penduduk miskin per Maret 2016 tercatat mencapai 10,86 persen dari total penduduk Indonesia. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016, angka kemiskinan dalam negeri ditargetkan turun pada kisaran 9-10 persen.
Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah akan terus menjaga momentum penurunan angka kemiskinan. Mantan gubernur DKI Jakarta ini berharap angka kemiskinan bisa ditekan lebih rendah lagi. Untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan, Presiden Jokowi ingin membuat RAPBN 2017 yang sedang disusun oleh pemerintah dapat memberikan ruang lebih besar dalam pengentasan kemiskinan.
"APBN harus menjadi instrumen fiskal untuk pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, penciptaan lapangan pekerjaan," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas mengenai efektivitas belanja APBN di Istana Kepresidenan Jakarta, belum lama ini.
Presiden Jokowi mengatakan, APBN sebagai instrumen fiskal pengentas kemiskinan bukan hanya soal nominal, melainkan lebih pada kualitas penggunaan anggarannya. Presiden Jokowi ingin belanja APBN betul-betul difokuskan pada peningkatan belanja yang produktif, belanja prioritas seperti perlindungan sosial, penguatan desentralisasi fiskal, dan juga pembangunan infrastruktur. "Tentunya juga subsidi yang tepat sasaran," ujarnya.
Bukan tanpa alasan Presiden Jokowi ingin meningkatkan perlindungan sosial bagi masyarakat untuk menekan angka kemiskinan. Program perlindungan sosial, yang salah satunya disalurkan melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dapat membantu daya beli masyarakat bawah sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan.
Garis kemiskinan merupakan batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Selama periode September 2015-Maret 2016, garis kemiskinan naik 2,78 persen dari Rp 344.809 per kapita per bulan menjadi Rp 354.386 per kapita per bulan. Komoditas makanan memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan, baik di perkotaan maupun perdesaan.
Beras memberi sumbangan 21,55 persen di perkotaan dan di perdesaan 29,54 persen. Sedangkan, komoditas lainnya, seperti telur ayam ras (3,66 persen di perkotaan dan 3,02 persen di perdesaan), mi instan (2,80 persen di perkotaan dan 2,43 persen di perdesaan). Sementara, turunnya angka kemiskinan pada Maret 2016 utamanya karena adanya inflasi yang relatif rendah, yakni sebesar 1,71 persen selama periode September 2015-Maret 2016.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan pada 2017 di level 9,5-10,5 persen. Bambang menjelaskan, pemerintah akan mendorong penciptaan lapangan kerja, menggenjot industri manufaktur, hingga memperbaiki efektivitas program perlindungan sosial.
"Kita akan terus melanjutkan program KIP, KIS, KKS, dan program keluarga harapan," ujar Bambang.
Sejalan dengan Bank Dunia
Sejumlah program yang telah digagas pemerintah untuk mengurangi kemiskinan sejalan dengan arahan dari Bank Dunia. Dalam Laporan Kemiskinan dan Kesejahteraan Bersama yang diluncurkan Bank Dunia belum lama ini, setidaknya ada enam strategi yang harus dilakukan negara-negara untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Salah satu strategi itu adalah dengan memberikan bantuan tunai kepada keluarga miskin. Bank Dunia menyebutkan, program ini memberi penghasilan pokok kepada keluarga miskin, memungkinkan mereka untuk menjaga anak-anak mereka tetap sekolah dan kaum ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar.
Uang tersebut juga dapat membantu keluarga miskin membeli berbagai keperluan, seperti bibit, pupuk, atau ternak dan membantu mereka menghadapi kekeringan, banjir, bencana pandemik, krisis ekonomi, atau guncangan yang lain. Bantuan tunai telah terbukti mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesempatan bagi orang tua maupun anak-anak.
Selain itu, infrastruktur di perdesaan, terutama jalan dan penyediaan listrik. Pembangunan jalan perdesaan dianggap dapat mengurangi biaya transportasi, menghubungkan petani desa ke pasar untuk menjual barang-barang mereka, serta memungkinkan pekerja bergerak lebih bebas dan memperbaiki akses ke pendidikan serta layanan kesehatan. Misalnya, penyediaan listrik bagi masyarakat desa. Akses listrik juga membuat usaha rumah skala kecil menjadi lebih layak dan produktif, yang sangat diperlukan bagi masyarakat miskin di desa.
Di Indonesia, pemerintah konsisten membangun infrastruktur perdesaan melalui dana desa yang pada tahun ini anggarannya naik menjadi Rp 47 triliun. Dana desa bahkan direncanakan naik menjadi Rp 60 triliun pada 2017.
Bank Dunia juga menyarankan agar negara-negara di dunia dapat memberikan perlindungan kesehatan. Perlindungan kesehatan akan memberi cakupan kepada masyarakat tidak mampu untuk mendapat layanan kesehatan yang terjangkau dan tepat waktu, dan pada saat yang sama meningkatkan kapasitas masyarakat untuk belajar, bekerja, dan melakukan kemajuan. rep: Satria Kartika Yudha, ed: Citra Listya Rini
***
Penduduk Miskin
Periode Jumlah (juta orang) Persentase
Maret 2015 28,59 11,22 persen
September 2015 28,51 11,13 persen
Maret 2016 28,01 10,86 persen
Kemiskinan di Perkotaan
Periode Jumlah (juta orang) Persentase
Maret 2015 10,65 8,29 persen
September 2015 10,62 8,22 persen
Maret 2016 10,34 7,79 persen
Kemiskinan di Perdesaan
Periode Jumlah (juta orang) Persentase
Maret 2015 17,94 14,21 persen
September 2015 17,89 14,09 persen
Maret 2016 17,67 14,11 persen
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)