Senin 02 Jun 2014 15:00 WIB

NU-Muhammadiyah Berbeda Awali Ramadhan

Red:

antara -- SURABAYA – Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) akan berbeda dalam mengawali Ramadhan tahun ini. Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadhan pada 28 Juni 2014, sedangkan NU memperkirakan 29 Juni.

“Muhammadiyah menetapkan awal puasa jatuh pada 28 Juni 2014, dasarnya menurut hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal,” kata Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid, Ahad (1/6).

Menurut dia, berdasarkan ketetapan ini, Ramadhan akan berbeda lagi dengan NU. Akan tetapi, perayaan Idul Fitri tampaknya akan bersamaan. Dengan kriteria wujudul hilal, ijtimak menjelang Ramadhan terjadi pada Jumat (27/6) pukul 15.10 WIB.

"Astrofotografi itu jalan keluar terbaik, asalkan umat mau menerima perhitungan berdasarkan iptek".

Saat matahari terbenam, hilal atau rembulan usia muda yang menjadi tanda pergantian awal kalender sudah wujud dengan ketinggian 31 menit dan 17 detik. Artinya, 27 Juni malam sudah shalat tarawih. “Jadi, diperkirakan tidak bersamaan lagi karena kurang dari dua derajat.”

Wakil Ketua PWNU Jawa Timur Sholeh Hayat yang juga koordinator Rukyatul Hilal PWNU Jatim menegaskan, awal Ramadhan 1435 H jatuh pada Ahad, 29 Juni 2014, sekitar pukul 15.20 WIB sore dengan posisi hilal 0,085 derajat.

Karena posisi hilal yang sulit dirukyat itu, Sya'ban diistikmalkan atau digenapkan menjadi 30 hari. Tapi, kata dia, hal itu masih merupakan hasil hisab. “Kami akan melakukan rukyatul hilal,” kata Sholeh.

Beberapa waktu lalu, Ketua Umum MUI Din Syamsuddin menilai, metode astrofotografi, yakni astronomi direkam secara fotografis bisa menjadi jalan tengah bagi hisab dan rukyat atau melihat bulan sabit secara kasat mata dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal.

Astrofotografi itu jalan keluar terbaik, asalkan umat mau menerima perhitungan berdasarkan iptek. Pakar astrofotografi dari Prancis Thierry Legault menjelaskan, alat astrofotografi itu bisa diprogram secara komputerisasi untuk mengarah ke objek tertentu.

Lalu, alat itu akan mengikuti pergerakan objek sesuai keinginan pengguna alat. Ia yakin, tenggelamnya hilal hingga muncul kembali dapat direkam dan hasilnya dapat disajikan dalam bentuk foto atau video asalkan langit biru dan tidak ada mendung.

Namun, Sholeh Hayat menyatakan, dalam pandangan syariat, astrofotografi kurang valid. Perintah Rasulullah, setelah terbenamnya matahari baru melihat hilal, bukan sebaliknya. Kalau astrofotografi melihat hilal sebelum terbenam matahari. ed: ferry kisihandi

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement