oleh:A Syalabi Ichsan -- Suara azan Jumat terdengar merdu dari Masjid Baiturrahman, Wamena, Jayawijaya. Suara itu sahut-menyahut dengan muazin dari dua masjid lain di kota yang sama. Siang itu, umat Islam berbondong-bondong memenuhi tempat suci untuk menunaikan shalat Jumat.
Satu per satu Muslim dari beragam etnis memenuhi saf. Jawa, Melayu, Bugis, Ternate, hingga orang asli Papua tampak rapi membentuk barisan. Mereka menanti sang khatib menyampaikan khotbah dan memimpin shalat wajib berjamaah.
Di Wamena, terdapat tiga masjid besar. Selain Baiturrahman, ada Masjid Alikhsan dan Masjid Nurul Hidayah. Dari tiga masjid itu, tak satu pun yang mendeklarasikan diri sebagai bagian dari salah satu organisasi Islam, seperti di daerah lain. Tidak juga menjadi bagian dari ormas terbesar di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (MU) atau Muhammadiyah.
"Kalau dari cerita orang-orang dulu, mereka memang sengaja tidak menampakkan golongannya masing-masing karena minoritas," tutur tokoh masyarakat setempat Agus Sutarmaji saat berbincang dengan Republika, pekan lalu.
Saat merayakan hari besar keagamaan, misalnya, Idul Fitri, Idul Adha, atau memulai puasa Ramadhan, umat Islam di Wamena selalu bersama.
Agus menjelaskan, Muslim Wamena akan memulai waktu puasa sesuai arahan pemerintah pusat. Untuk shalat Id, mereka akan berjamaah di lapangan besar dekat Masjid Baiturrahman. Sementara, jamaah dari dua masjid lainnya akan bergabung di lapangan yang sama.
Agus mengungkapkan, persatuan umat Islam di Wamena sungguh terasa. Sebagai sesama pendatang, mereka merasa senasib sepenanggungan. Sekat mazhab, apalagi ormas, sudah hilang dengan sendirinya. Dengan Islam yang tak terkotak-kotak, ujarnya, umat Islam bisa lebih mudah mengenalkan ajaran Islam ke suku asli Papua.
Dia menjelaskan, sejak dekade 70-an, perkampungan Muslim di pedalaman pun berkembang. Saat ini, ada sekitar tujuh perkampungan yang sudah memiliki puluhan hingga ratusan Muslim. Perlahan, Muslim menjadi mayoritas di kota ini. Beragam profesi digeluti, seperti berdagang, polisi, tentara, hingga guru. Tapi, populasi umat Islam memang masih minoritas jika dibandingkan dengan keseluruhan warga Lembah Baliem. "Populasi umat Islam sekitar 7.000 orang," ujar Agus yang juga merupakan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Ilmu Politik (STISIP) Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Wamena.
Hubungan umat Islam dengan warga asli dan umat Kristen yang menjadi mayoritas di Jayawijaya pun rukun. Setiap bulan, mereka bertemu dalam forum kerukunan umat beragama.
Agus mengaku, memang ada rumor dan provokasi untuk memecah belah antara pendatang dan warga asli, juga antara umat Islam dan Kristen. Dia mencontohkan, adanya larangan menggunakan pengeras suara saat azan Zhuhur pada Ahad dari Pemkab setempat.
Agus menilai, hal itu wajar. Umat Islam pun menerima aturan tersebut dengan alasan menghormati umat Kristen yang sedang beribadah. Terlebih, banyak gereja yang berdiri di sekitar masjid. "Ya, kita sebagai minoritas tahu diri. Masa orang Kristen sedang ibadah, kita azan keras-keras," ujarnya.
Meski minoritas, ekonomi Muslim bisa bergeliat. Buktinya, masjid-masjid di Kota Wamena tergolong makmur. Lihat saja saldo kas masjid yang diumumkan menjelang shalat Jumat. Pengurus Masjid Baiturrahman melaporkan, saldo hingga 30 Mei 2014 tercatat berkisar Rp 4,3 miliar. Sedangkan, di Masjid Nurul Hidayah berkisar Rp 400 juta. ed: wachidah handasah