Kamis 07 Aug 2014 12:00 WIB

Permendikbud Jilbab Belum Efektif

Red:

JAKARTA — Penerapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah Dasar dan Menengah belum efektif. Peraturan yang memberi kebebasan siswi berjilbab itu belum mampu menghentikan diskriminasi. Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Bidang Komunikasi Umat Helmi al-Djufri menyatakan, pascasosialisasi permendikbud yang ditetapkan pada 11 Juni 2014 tersebut masih muncul larangan berjilbab. "Salah satunya di SMPN I Gerokgak, Buleleng, Bali," katanya, Rabu (6/8).

Di sana, siswi Muslim yang ingin berjilbab dilarang. Bahkan, salah seorang pengurus sekolah meminta siswa menghormati peraturan yang berlaku di sekolah. "Memang tak ada aturan tertulis yang melarang, tetapi dalam praktiknya jilbab dilarang," ungkap Helmi. Ia menyatakan, PII akan terus memantau kasus ini. Bagi dia, meski belum efektif, adanya permendikbud bisa menguatkan upaya advokasi. Sebab, ada dasar hukum yang menegaskan siswi Muslim mempunyai kebebasan mengenakan jilbab di sekolah.

Menurut Helmi, mesti ada sinergi mengawal pemberlakuan permendikbud ini, khususnya di daerah minoritas Muslim. Sosialisasi harus intens dan dipantau efektivitasnya. Pemantauan bukan hanya oleh pemerintah, melainkan juga masyarakat. Ketua Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) wilayah Jabodetabek Ahmad Hidayat menyatakan hal sama. Pemantauan dilakukan dengan memanfaatkan jaringan organisasi yang luas, khususnya di daerah Indonesia yang minoritas Muslim.

"Kami membuka jaringan, advokasi, dan kembali mengumpulkan fakta jika masih terjadi pelanggaran peraturan itu," ujar Ahmad. Menurut dia, permendikbud merupakan sebuah awal agar diskriminasi berjilbab di Indonesia, khususnya bagi pelajar, dapat dihapuskan. Kemunculan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 dipicu kasus pelarangan berjilbab di 40 sekolah di Bali. Aliansi Pelajar Mahasiswa Indonesia (APMI) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat peraturan mengenai seragam sekolah itu.

Aliansi terdiri atas Pelajar Islam Indonesia, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, Ikatan Pelajar Muhamadiyah, Himpunan Mahasiswa Indonesia, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus.

Direktur Pembinaan SMA Kemendikbud Harris Iskandar sepakat perlu sinergi sosialisasi permendikbud, bukan hanya melibatkan pemerintah, melainkan juga masyarakat. Sosialisasi sudah dilakukan dengan menyebarkannya ke seluruh Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia. Bentuknya berupa edaran, mengunggah ke laman resmi Kemendikbud, serta penyelenggaraan sejumlah forum pertemuan. "Tidak ada sosialisasi khusus, tapi kita pantau lebih dekat untuk wilayah minoritas Muslim," kata Harris.

Tak adanya sosialisasi khusus, kata dia, karena Kemendikbud mudah berinteraksi dengan dinas di daerah. Sosialisasi permendikbud bisa diselipkan, misalnya, dalam pertemuan dengan dinas, pembahasan kurikulum, atau saat pelatihan guru. "Kita punya banyak kesempatan, tapi pemantauan khusus ada di Bali dan Papua, juga di daerah yang minoritas Muslim saja," katanya tanpa menjelaskan teknis pemantauan secara spesifik. Ia mengingatkan agar tak terlalu dini mengklaim permendikbud tak efektif.

Harris mengatakan, permendikbud baru saja disosialisasikan. Maka, agar efektif, masyarakat dituntut mendukung dan memantau pelaksanaannya. "Kami sudah membuat kebijakannya dan masyarakat harus berpartisipasi. Tak boleh hanya menonton." Ia optimistis pelaksanaan permendikbud di 280 ribu sekolah se-Indonesia efektif. Diskriminasi berjilbab hanya satu-dua kasus. "Meski demikian, kami ingin permendikbud terlaksana 100 persen." rep:c78 ed: ferry kisihandi

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement