JAKARTA — Setelah pembahasan delapan tahun, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) akhirnya disahkan menjadi undang-undang. UU JPH disahkan dalam sidang paripurna DPR pada Kamis (25/9) siang usai pengesahan UU Tenaga Kesehatan dan UU Keperawatan.
Proses pengesahan tak membutuhkan pembahasan panjang. Palu diketuk pada 12.41 WIB setelah Wakil Ketua Komisi VIII DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja RUU JPH Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan laporan pembahasan beleid tersebut.
Dalam laporannya Ledia menyampaikan bahwa pemerintah bertanggung jawab menerbitkan delapan peraturan pemerintah dan dua peraturan menteri untuk melengkapi UU JPH. Sembilan fraksi di parlemen pun menyatakan persetujuan tanpa ada catatan.
Pemerintah akan berkonsentrasi untuk menyiapkan implementasi UU JPH dalam jangka waktu lima tahun. Dengan begitu, seluruh produk halal dan tidak halal di Indonesia akan mendapatkan kejelasan status karena diwajibkan untuk berlabel.
Meski demikian, sambil menanti struktur baru Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), pemerintah akan menyerahkan proses sertifikasi halal kepada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). "Sebelum ada implementasi pada 2019, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan LPPOM-nya masih akan bertanggung jawab sebagai penyelenggara jaminan halal di masyarakat," kata Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam.
Pemerintah menargetkan gerakan halal besar-besaran pada Oktober 2019. Ketika itu, seluruh produk yang beredar wajib memiliki sertifikat halal. Ia menjelaskan, pewajiban berlaku bagi seluruh produk tanpa kecuali.
"Dalam pembahasan panitia kerja sempat dibahas bahwa sanksi hukuman kurungan maksimal lima tahun dan denda dua miliar (rupiah)," ujar Nur Syam. Hukuman tersebut berlaku bagi produsen yang tidak melakukan sertifikasi halal, padahal produknya sudah diniatkan halal. Produk tersebut beredar masif di masyarakat dan memang sudah seharusnya disertifikasi.
Sanksi lainnya ditujukan kepada produsen yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen agar memperoleh label halal, padahal produknya tidak halal. Termasuk, produsen yang tidak konsisten menjaga produknya tetap halal setelah disertifikasi. Ia menegaskan bahwa sanksi-sanksi tersebut akan dibahas dan dituangkan dalam PP.
Peran LPPOM
Sambil menunggu pemerintah merampungkan aturan pendukung UU JPH, LPPOM MUI akan terus bertanggung jawab atas penyelenggaraan jaminan halal di masyarakat. LPPOM adalah lembaga penerbit sertifikat halal yang saat ini berlaku di masyarakat.
"Kita sudah menjalankan penyelenggaraan jaminan halal ini selama lebih dari 25 tahun, tentu saja kita tidak akan berhenti dengan alasan apa pun," kata Wakil Direktur III LPPOM MUI Sumunar Jati kepada Republika saat dihubungi melalui pada Kamis (25/9).
Segala prosedur sertifikasi halal atas produk yang beredar di masyarakat, ia mengungkapkan, akan terus berlanjut sampai UU JPH dilaksanakan lima tahun kemudian. Meski masih menganggap rumitnya aturan dan alur sertifikasi yang nanti akan berlaku dalam UU JPH, Sumunar akan mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah. Ia pun akan terus memantau pelaksanaan teknis yang tertuang dalam PP dan Permen.
MUI sebelumnya menolak proses sertifikasi baru yang akan dilakukan usai penerbitan UU JPH. Dalam beleid ini, wewenang MUI hanya menetapkan fatwa halal. Sedangkan, penerbitan sertifikat menjadi wewenang BPJPH.
BPJPH pun akan mengakreditasi dan menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang diusung masyarakat dan pemerintah, posisi yang selama ini diperankan oleh LPPOM. Ledia mengungkapkan, LPPOM sebenarnya tak usah dibubarkan karena dapat menjelma menjadi LPH.
rep:c78 ed: a syalaby ichsan