Selasa 15 Jul 2014 12:00 WIB
buah hati

Di Balik Kemandirian Anak

Red:

Anak kedua saya, Abdurrahman Ilyas Nabil (5 tahun 10 bulan), tumbuh mandiri dan sangat percaya diri. Kepercayaan diri Ain sudah terlihat sejak dini. Tentu saja saya senang dan bangga dengan hal ini. Saya sering kali membanggakan kemandirian dan  kepercayaan diri Ain di hadapan kerabat atau teman-teman. Menurut  saya, kedua sifat tersebut mencerminkan citra diri yang positif. Secara teori, sifat seperti itu akan berpengaruh baik pada perkembangan karakternya di masa mendatang.

Ternyata, saya tidak sepenuhnya benar. Gabungan dua sifat tersebut positif tersebut justru menjadikan Ain anak yang tidak mudah dinasehati. Dia kadang-kadang bersikap seolah-olah merasa benar dengan apa yang dilakukan sehingga tidak menganggap penting masukan orang lain.

Jika diberitahu, Ain akan menjawab dengan kata-kata ajaib "Wis (udah) tahu" atau "aku lho bisa".  Saat saya mengingatkan tentang gelas berisi air yang diletakkannya di lantai di belakang punggungnya, dengan entengnya dia menjawab, "Aku lho sudah tahu". Tentu saja itu bukan pilihan kata yang bagus jika diucapkan untuk orang yang lebih tua. Saat itu juga, saya menegurnya dan memintanya untuk mengucapkan, "Iya, Bunda. Terima kasih diingatkan". Dia pun menurut.

Tetapi, teguran saya kurang manjur. Ain masih mengulangi polahnya di kejadian yang berbeda. Beberapa waktu lalu, dia kembali bertingkah serupa. Waktu itu kami sekeluarga menghadiri silaturahim rutin di jamaah pengajian yang kami ikuti. Saat makan bersama, para remaja laki-laki membantu tuan rumah mendistribusikan makanan dan minuman dari dapur ke bagian depan, tempat jamaah laki-laki duduk. Dua anak laki-laki saya, seperti biasa ikut mondar-mandir. Padahal dari dapur ke depan, para remaja laki-laki tersebut melewati lorong kecil sebelah rumah yang separuhnya adalah selokan.

Singkat cerita, saat saya menikmati hidangan, salah seorang jamaah remaja memanggil nama saya dan mengantarkan Ain dalam kondisi basah oleh air selokan yang kotor. Alhamdulillah tidak ada luka di tubuhnya. Alhasil, selama sisa acara, dia tidak mau ke depan karena malu memakai kaus olahraga dan celana pendek milik putri tuan rumah acara.

Setelah selesai acara, saya bertemu suami. Terungkaplah, lagi-lagi Ain tidak mau mendengarkan nasihat ayahnya untuk tidak ikut mondar-mandir lewat selokan. Dengan modal kemandirian dan kepercayaan diri yang tinggi, dia merasa bisa melewati selokan dengan gelas es di tangannya. Dia berkata, "Aku lho bisa". Tapi kemudian ia berakhir dengan terjerembab ke selokan.

Saya pikir, inilah saatnya saya bicara lagi dengan Ain. Di samping mengkhawatirkan kejadian lain yang bisa mencelakakan dirinya, saya juga tak ingin ucapan anak saya bisa melukai perasaan orang lain. Tentu saja saya tidak mau Ain tumbuh menjadi anak yang selalu merasa benar dan tidak mau mendengarkan masukan orang lain.

Esoknya, saat hanya berdua, saya pun mulai bicara. Awalnya saya tanyakan mengenai kejadian yang dialaminya kemarin. Saya tanyakan juga mengenai peringatan dari ayahnya dan orang lain sebelum dia jatuh. Saya minta tolong padanya untuk mengatakan "Iya, terima kasih diberi tahu" atau "Iya, terima kasih diingatkan" pada orang yang memberi peringatan padanya.

Ain sempat bertanya, "Kalau aku memang sudah tahu, bagimana, Bunda?" Saya sampaikan dengan tegas, meskipun dia sudah tahu, dia tetap harus menjawab dengan kata-kata yang saya ajarkan. Saya tambahkan cara tersebut lebih santun dan membuatnya lebih disayang Allah. Ain pun mulai mempraktikkannya meski kadang perlu diingatkan. ed: reiny dwinanda

Oleh Luluk Ubaidah

Tinggal di Surabaya, Jawa Timur

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement