REPUBLIKA.CO.ID, ENNISKILLEN -- Seluruh pemimpin negara anggota G8 menyerukan segera dilangsungkannya konferensi atau perundingan demi terciptanya perdamaian di Suriah. Meski satu suara untuk mencari penyelesaian damai, tak semua anggota setuju jika Presiden Bashar al-Assad dilengserkan.
Deklarasi akhir pertemuan puncak G8 ini berhasil mempersempit perbedaan cara pandang antara negara-negara Barat yang pro oposisi Suriah dan Rusia yang merupakan sekutu kental rezim Assad. Pertemuan tingkat tinggi yang digelar selama dua hari ini menghasilkan seruan untuk segera diakhirinya perang saudara yang telah merenggut 93 ribu nyawa.
Dalam deklarasi tersebut, G8 menegaskan bahwa perdamaian Suriah hanya bisa dicapai melalui jalur perundingan. Mereka pun menyeru untuk segera dibentuk pemerintahan koalisi dengan pemimpin negara yang dipercaya publik.
Sejak awal, Rusia selalu menolak wacana pergantian pemerintahan di Suriah yang harus melengserkan Assad. Bagi Kremlin, jika Assad harus mundur, artinya ada prasyarat yang diajukan salah satu pihak sebelum penyelenggaraan pembicaraan damai. Dalam hal ini, Rusia tak menginginkan adanya prasyarat itu.
Deklarasi G8 tak menyebut pelarangan bantuan senjata kepada oposisi. Tentu saja, hal ini membuka jalan bagi Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis untuk mengirim bantuan senjata mematikan kepada oposisi.
Perdana Menteri Inggris David Cameron, sebagai tuan rumah, mengatakan dia tak pernah terpikir bahwa Assad bisa memainkan peran dalam pemerintahan Suriah di masa mendatang. Sebab, kata dia, tangan Assad penuh dengan darah rakyatnya dan ia pun menggunakan senjata kimia.
Sedangkan, Presiden Rusia Vladimir Putin tak menyoroti wacana pelengseran Assad. Ia justru menyoroti rencana pengiriman senjata berat ke oposisi Suriah. Putin memperingatkan Cameron bahwa pengiriman senjata ke oposisi Suriah sama saja menabur kematian bagi orang Eropa. Ia mengacu pada serangan mematikan yang dilakukan pria imigran terhadap seorang tentara Inggris di London beberapa waktu lalu.
Putin mengatakan, ada begitu banyak penjahat dan ekstremis yang tergabung dalam oposisi. Mereka adalah orang-orang yang sama dengan yang membunuh tentara Inggris di jalanan London. Karena itu, ia meminta para sekutu oposisi untuk berpikir ulang sebelum mengambil langkah yang membahayakan. ''Apakah orang Eropa ingin memberikan orang-orang ini senjata?'' ucap dia, seperti dikutip laman Alarabiya, Rabu (19/6).
Putin kemudian menyatakan Rusia tak akan menghentikan pengiriman senjata kepada rezim Assad. Alasannya, Rusia memiliki kontrak kerja sama yang harus ditepati dengan pemerintah yang sah di Suriah.
Sebenarnya, ucapan Putin ini merupakan kegelisahan yang dirasakan beberapa anggota G8 mengenai perilaku pasukan oposisi. G8 pun kemudian menyampaikan bahwa dalam perjanjian damai nanti harus pula disepakati pengusiran pejuang oposisi yang terkait jaringan Alqaidah dari negara itu.
Dalam deklarasi juga disebutkan rencana bantuan dana bagi pengungsi Suriah sebesar 1,5 miliar dolar AS. Hingga kini, 4,2 juta warga Suriah terusir dari rumah mereka dan 1,6 juta jiwa mengungsi ke negara-negara tetangga.
Oposisi kecewa
Deklarasi G8 segera direspons oleh pihak oposisi. Intinya, mereka kecewa dengan deklarasi itu. Seperti dikatakan Juru Bicara Tentara Pembebasan Suriah, Loay al-Mikdad, oposisi sebenarnya berharap lebih banyak dari deklarasi ini.
Seharusnya, kata al-Mikdad, G8 mengatakan secara langsung dan tak mencetuskan deklarasi yang bersifat umum seperti di atas. Ia pun berharap pernyataan yang begitu lemah itu akan diimbangi intervensi Barat dengan mengirim senjata berat ke oposisi. ''Masyarakat internasional, khususnya mereka yang mengaku sahabat Suriah, seharusnya bersikap lebih tegas.'' n ichsan emrald alamsyah ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.