Jumat 05 Jul 2013 08:29 WIB
Peredaran Miras

MK Izinkan Daerah Bebas Larang Miras

Miras, ilustrasi
Foto: Antara
Miras, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi yang diajukan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol. Keppres tersebut tak bisa lagi digunakan pemerintah pusat untuk mengevaluasi peraturan daerah (perda) yang melarang peredaran miras secara total.

Putusan MA teregister dengan Nomor 42 P/HUM/2013. Isinya mengabulkan gugatan pemohon untuk seluruhnya. Vonis dijatuhkan Ketua Majelis Hakim Supandi dengan hakim anggota Hary Djatmiko dan Yulius. Perkara tersebut masuk ke MA pada 10 Oktober 2012 dan diputus pada 18 Juni 2013.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur menjelaskan, amar putusan sesuai petitum pada pokoknya. Dengan ketentuan itu, MA menyatakan bahwa Keppres 3/1997 tidak berlaku karena dasar hukum pembentukan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

“Menyatakan keppres tidak berlaku karena pertimbangan pembentukannya secara nyata tidak dapat menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat Indonesia,” kata Ridwan, Kamis (4/7). MA menyepakati, keppres bisa menciptakan gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Selain itu, kata dia, pertimbangan majelis hakim adalah Keppres Miras bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Termasuk, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 36/2009, UU Nomor 8/1999, dan UU Nomor 7/1996 tentang Kesehatan. Ridwan mengaku tidak tahu detail teknis penerapan aturan baru. Hanya, dia melanjutkan, setiap keputusan MA harus diterapkan demi kepastian hukum karena bersifat final dan mengikat. “Nanti perlu disosialisasikan,” katanya.

Juru Bicara FPI Munarman mengatakan, alasan mereka mengajukan gugatan berawal dari evaluasi terhadap sejumlah peraturan daerah (perda) miras yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada awal 2012. Perda-perda tersebut dinilai bertentangan dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya membatasi peredaran miras dengan kadar alkohol dan etanol tertentu.

Diatur dalam keppres tersebut, miras dengan kadar alkohol lebih dari lima persen hanya bisa beredar di hotel, restoran, dan tempat tertentu lainnya. Keppres juga mengklasifikasikan, minuman yang mengandung etanol nol hingga lima persen boleh beredar, untuk kadar lima sampai 20 persen perlu diawasi, dan kadar 20 hingga 55 persen lebih diawasi lagi.

Selain itu, sekira sembilan perda yang dievaluasi Kemendagri melarang peredaran miras secara total di wilayah masing-masing. Sebab, itu dinilai bertentangan dengan keppres yang memiliki kedudukan hukum di atas perda. FPI kemudian mengajukan uji materi terhadap keppres ke MA pada akhir 2012. Menurut Munarman, alasan yuridis pengajuan gugatan karena keppres miras mengatur peraturan umum.

Sedangkan, menurut UU No 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, keppres mestinya bersifat individual. Artinya, seharusnya bentukan aturan soal miras bukan keppres, melainkan peraturan presiden (perpres).

Selain itu, FPI juga menyampaikan pertimbangan bahwa peredaran miras memiliki dampak sosial yang negatif. Di antaranya, berbagai kecelakaan yang menyebabkan kematian dan meningkatnya angka kriminalitas.

“Kami mengapresiasi majelis hakim yang memutuskan pencabutan keppres,” kata Munarman. Menurutnya, konsekuensi dari pencabutan tersebut adalah pemerintah pusat tak bisa lagi mendikte daerah-daerah soal peraturan pelarangan miras. Daerah secara hukum boleh melarang total peredaran miras.

Meski demikian, Munarman menilai, masih perlu mengadakan payung hukum secara nasional menyusul kekosongan akibat dicabutnya keppres. Untuk itu, dia mendesak DPR menyegerakan pembahasan RUU Miras yang sempat diajukan Fraksi PPP beberapa waktu lalu.

Anggota Badan Legislasi dari DPR Fraksi PPP, Achmad Yani, mangamini desakan Munarman. Menurutnya, pencabutan keppres mestinya mendorong fraksi-fraksi lain di DPR dalam menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Minuman Keras (RUU Miras).

Kekosongan regulasi peredaran miras pascadibatalkannya Keppres Miras Nomor 3 Tahun 1997 oleh MA mesti segera disikapi. “DPR harus selesaikan secepatnya RUU Miras yang diusulkan PPP,” kata Yani, kemarin. Yani menilai, perda menyangkut peredaran miras tidak cukup melindungi masyarakat dari bahaya minuman haram tersebut. Persoalan miras mesti diselesaikan lewat payung hukum berskala nasional, seperti undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).

Menurutnya, RUU Miras hendaknya mengatur secara komprehensif berbagai aspek yang menyangkut peredaran miras. Mulai dari produksi, distribusi, penjualan, hingga konsumsi.

Saat ini, RUU Miras masih dalam pembahasan di baleg. Yani menyatakan, RUU itu harus segera dibawa ke sidang paripurna untuk diputuskan sebagai undang-undang inisiatif DPR. Dengan begitu, RUU Miras bisa langsung dibawa ke pemerintah untuk dibuatkan daftar inventarisasi masalah (dim). n erik purnama putra/ahmad islamy jamil/m akbar wijaya ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement