Selasa 23 Jul 2013 08:55 WIB
Impor Bahan Pangan

Bawang dan Cabai Impor Segera Banjiri Pasar

Bawang Merah
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Bawang Merah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan ribu ton bawang merah dan cabai rawit segera masuk Indonesia pada pekan ini. Bawang merah sebanyak 16.781 ton, sedangkan cabai rawit 9.715 ton. Sebagian besar komoditas tersebut berasal dari Vietnam dan Cina. Pemerintah mengimpor karena produksi dalam negeri turun akibat cuaca.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, akhir-akhir ini terjadi cuaca kemarau yang sangat basah sehingga panen untuk produk-produk pertanian, termasuk bawang merah dan cabai rawit tertunda atau gagal di sejumlah wilayah. Hal itu yang memaksa Kemendag untuk melakukan importasi bawang merah dan cabai rawit.

 

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Bachrul Chairi menjelaskan, impor dilakukan karena anomali cuaca yang menyebabkan penurunan produksi. Di satu sisi, permintaan produk meningkat sehingga pihaknya memutuskan membuka keran impor.

Kemendag telah mengeluarkan surat persetujuan impor (SPI) untuk 13 produk hortikultura segar konsumsi periode II (Juli-Desember) 2013. Di antaranya, 13 produk hortikultura itu terdapat bawang merah dan cabai rawit. SPI yang diterbitkan untuk 76 perusahaan importir dengan alokasi total sebanyak 260.064 ton.

Kementerian Pertanian juga telah memberikan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk pemasukan impor maupun izin importasi. "Sejak awal, tepatnya tanggal 12 Juni, kita sudah mengeluarkan rekomendasi untuk impor periode Juli hingga Desember," ujar Sekretaris Ditjen Pengembangan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementan, Yazid Taufik, Senin (22/7).

Curah hujan yang tinggi menyebabkan penurunan produksi untuk beberapa komoditas, termasuk bawang merah dan cabai rawit. Kementan meminta petani jeli dalam menggunakan kalender tanam. "Saat ini mungkin tidak cocok untuk tanam cabai, akan rontok. Tapi, cuaca ini cocok untuk komoditas lain, kubis misalnya," ujar Yazid.

Sekretaris Jenderal Dewan Bawang Merah Nasional Mudasir mengatakan, gejolak harga dipengaruhi beberapa faktor, mulai dari anomali cuaca dan kendala dalam hal pengiriman barang. Akibatnya, bawang merah yang dikirim dari sentra produksi kerap terlambat sampai ke Jabodetabek.

Ketua Umum Asosiasi Hortikultura Nasional (AHN) Jacob Romsoyo membenarkan terjadinya penurunan produksi hortikultura. Produksi menurun sekitar 50 persen akibat anomali cuaca. "Panen memang terganggu karena iklim tidak menentu," kata Jacob. Menurut dia, pemerintah bisa lebih berperan dengan menentukan harga dasar pembelian produk sehingga gejolak harga tidak selalu terjadi. Petani maupun pedagang bisa sama-sama untung.

Gita Wirjawan sempat mengusulkan penggunaan indikator paritas harga. Mekanisme harga digunakan sebagai pemicu untuk melakukan atau tidak melakukan importasi. Nantinya, ditetapkan batasan 10 persen sampai 15 persen dari harga paritas sebagai patokan. Apabila harga di pasaran melebihi batasan tersebut, impor langsung dibuka hingga harga kembali stabil. "Dan kalau harga turun di bawah harga paritas itu, kita nggak boleh impor sama sekali," ujar Gita.

Harga cabai rawit sempat menembus angka Rp 100 ribu per kilogram (kg). Sedangkan untuk bawang merah, harganya sempat mencapai kisaran Rp 15 ribu per kg. Di Pasar Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, masih cenderung fluktuatif. Penurunan dan kenaikannya bisa mencapai Rp 10 ribu per kg.

Tiru Vietnam

Peneliti Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Ina Primiana mengkritik tindakan pemerintah yang tidak mau susah dengan mengambil keputuan untuk mengimpor produk hortikultura, seperti bawang merah dan cabai rawit.

Disinggung mengenai impor yang dilakukan karena anomali cuaca, Ina menjelaskan, permasalahan tersebut bisa disiasati seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju. Dia mencontohkan negara-negara tropis lain yang mengalami masalah serupa seperti Indonesia, yaitu Malaysia, Vietnam, dan Thailand, tetap berhasil memproduksi komoditas itu.

"Kita punya ahli (pertanian) dalam manajemen di lapangan, seperti dari Institut Pertanian Bogor atau Universitas Padjadjaran," katanya. Ina mencontohkan, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan rumah kaca. n meiliani fauziah/rr laeny sulistyawati/c74/c01 ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement