REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) menegaskan dirinya tetap memegang kendali dalam penetapan calon wakil presiden (cawapres) Partai Golkar. Ical mengatakan, usulan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung agar penetapan cawapres diserahkan kepada peserta rapimnas tidak bisa dijalankan.
"Kalau itu, tentu tidak bisa. Dalam ketentuan rapimnas itu (cawapres) diserahkan sepenuhnya oleh ketum," kata Ical kepada wartawan saat acara buka puasa bersama Fraksi Golkar di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, kemarin.
Ical menyatakan, sebagai capres Golkar, dirinya punya kriteria sendiri dalam menetapkan cawapres. Kriteria pertama, menurutnya, cawapres Golkar tidak boleh hanya menang popularitas. Cawapres Golkar juga mesti memiliki sifat baik. Kedua, cawapres Golkar mesti memiliki visi dan misi yang sama dengan capres Golkar dalam membangun Indonesia sejahtera. "Artinya, negara punya hak mengintervensi untuk kesejahteraan rakyat," ujarnya.
Berbicara soal intervensi negara demi kesejahteraan rakyat, Ical menyatakan dirinya tidak akan memilih cawapres yang memiliki visi liberal meskipun memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi. "Misalnya, ada orang populer tapi visinya liberal dan pasti menang, saya tidak akan pilih," katanya. Menyinggung siapa figur cawapres yang akan mendampinginya, Ical mengaku siap berpasangan dengan siapa pun, termasuk dengan Joko Widodo (Jokowi). "Saya siap, kita lihat saja nanti."
Ketika ditanya tentang skenario dia berpasangan dengan mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ical juga tak menutup mata. Pada prinsipnya, kata Ical, berpasangan dengan tokoh siapa pun adalah mungkin asalkan memiliki visi dan misi yang sama.
Mantan menko kesra ini menambahkan, Partai Golkar berharap bisa berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PDI Perjuangan pada Pemilu Presiden 2014. Koalisi dengan dua partai nasional ini, kata dia, akan ampuh dalam memenangkan Pemilu Presiden 2014. "Kalau ketiganya berkoalisi, saya kira akan menjadi koalisi yang hebat," katanya.
Terkait sikap Ical yang tetap ngotot maju di bursa capres, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, melontarkan pandangannya. Menurut Siti, saat ini tengah terjadi kesalahkaprahan dalam kepemimpinan politik di Indonesia. Menurutnya, ada kelaziman setiap ketua umum partai harus menjadi capres atau cawapres. "Seolah ada hukum tak tertulis bahwa ketua umum parpol otomatis mengantongi kartu menjadi capres atau cawapres," ujar Siti.
Siti menyatakan, kesalahkaprahan ini harus segera dibenahi. Pasalnya, kemenangan partai tidak melulu berkorelasi positif dengan kemenangan partai. Dia mengandaikan, bila Golkar menang dalam pemilu legislatif, belum tentu Golkar bisa menang di pemilu presiden. Artinya, kemenangan Golkar menjadi tidak utuh karena tidak diikuti kemenangan di pilpres. "Bila terus-menerus dibiarkan maka rakyat dan partai politik sendiri yang justru malah rugi," ujarnya.
Partai politik seharusnya melakukan seleksi capres dan cawapres secara transparan dan akuntabel, bukan justru ditentukan di tangan ketua umum. Siti mengatakan, proses seleksi capres dan cawapres mesti berangkat dari aspirasi kader di akar rumput. Hal ini penting agar di kemudian hari tidak terjadi percekcokan antarelite. "Seharusnya, keputusan didasarkan perhitungan politik yang matang," katanya.
Sebelumnya, Akbar Tandjung mengatakan kewenangan Aburizal Bakrie (Ical) menetapkan cawapres bisa saja dialihkan ke peserta rapat pimpinan nasional (rapimnas). "Bisa saja rapimnas mengajukan kriteria cawapres. Mungkin juga mengajukan beberapa nama," kata Akbar.
Akbar meminta Ical mendengar masukan dari berbagai pemangku kepentingan di internal Golkar sebelum menetapkan cawapres. Mulai dari unsur pengurus DPD tingkat I, DPD tingkat II, dan Dewan Pertimbangan. "Dewan Pertimbangan yang selama ini cukup memberi masukan pada partai," ujarnya. n muhammad akbar wijaya ed: abdullah sammy