REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, mengimbau agar Presiden SBY mengajukan tiga nama calon Kapolri untuk diberikan kepada DPR. “Dengan mengajukan tiga nama, setidaknya suasana pemilihan Kapolri menjadi lebih demokratis, selain itu juga bisa ditemukan kandidat terbaik,” kata Nasir, kemarin.
Polri sekarang, ujar Nasir, selain harus berorientasi kepada sipil, juga harus demokratis. Karena itu, untuk memilih calon Kapolri pun harus melalui cara yang demokratis.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), kata Nasir, telah mengirim antara sembilan hingga 10 nama calon Kapolri ke Presiden SBY. Alangkah baiknya jika SBY mengambil tiga nama di antaranya untuk diajukan ke DPR agar sesuai dengan asas proporsional. “Ini juga untuk menunjukkan bahwa Polri bebas dari stigam alat kekuasaan. Polri merupakan pengayom dan pelindung masyarakat,” ujarNasir.
Ke depan, kata Nasir, jika terdapat revisi Undang-Undang Kepolisian, harus terdapat pasal yang secara eksplisit menyebutkan jumlah mininal calon Kapolri yang diajukan oleh presiden ke DPR. “Dalam undang-undang sekarang belum ada aturan pengajuan jumlah nama calon kapolri secara eksplisit,” ujarnya.
Dalam mengajukan calon Kapolri, Nasir menjelaskan, Presiden harus menyertakan alasan yang jelas mengapa memilih calon tersebut. Selama ini, Presiden saat mengajukan nama hanya memberikan alasan normatif.
“Seharusnya, Presiden memberikan alasan sosiologis yang meyakinkan masyarakat. Misalnya, memberikan alasan bahwa calon kapolri tersebut selama ini jujur, amanah, dan memiliki track record yang baik maka tugas DPR hanya menguji kualitas yang disebutkan Presiden tadi,” kata Nasir.
Berbeda dengan Nasir, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, menyatakan, SBY cukup mengajukan satu nama calon Kapolri saja. Sebab, menurut Didi, penunjukan Kapolri adalah hak prerogatif Presiden. “Jangan setiap hal dipolitisasi. Kalau perlu ke depan ,penunjukan Kapolri tidak perlu melibatkan DPR,” katanya.
Semangat reformasi yang berlebihan, ujar Didi, membuat banyak ranah eksekutif yang akhirnya dicampuri oleh DPR. DPR, kata Didi, sejatinya tinggal menyetujui Kapolri yang diajukan oleh Presiden. “Jangan terjebak dengan masalah demokratis lalu malah mengurangi hak-hak eksekutif. Di era reformasi ini, hak-hak eksekutif sudah terlalu banyak yang dikurangi,” katanya.
Pengurangan hak eksekutif yang berlebihan, ujar Didi, malah dikhawatirkan akan mengganggu jalannya kinerja pemerintah. Lagi pula hak-hak DPR sudah banyak, termasuk perannya dalam mengawasi kinerja pemerintah, juga pembuatan anggaran.
Sebaiknya, kata Didi, Kapolri pilihan Presiden didukung saja. Ia yakin Presiden mengetahui calon Kapolri yang terbaik. Selama ini, yang dipilih Presiden selalu kapolri yang mumpuni dan berkualitas baik. “Presiden sendiri sebelum mengajukan nama pasti sudah melakukan kajian mendalam terhadap beberapa nama yang diusulkan oleh Kompolnas. Kami yakin calon yang diajukan adalah yang terbaik dan bisa mengayomi rakyat dan memperbaiki kepolisian,” ujar Didi.
Selain itu, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyatakan, Presiden berwenang memperpanjang masa jabatan Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Sebab, DPR berada dalam posisi menunggu usulan Presiden, apa tetap mempertahankan Timur atau menggantinya. “Terserah Presiden mau diperpanjang atau tidak,” katanya.
Kalaupun Presiden ingin mengganti Kapolri, Priyo mengaku menghargainya. Sampai saat ini, Kompolnas telah merekomendasikan empat nama calon Kapolri ke Presiden. Mereka adalah Kepala BNN Anang Iskandar, Kepala Bareskrim Sutarman, Kepala Divisi TI Polri Anis Angkawijaya, dan Kapolda Metro Jaya Putut Eko Bayu Seno. Menurut Priyo, empat nama calon Kapolri tersebut cukup kredibel. “Keempatnya prajurit yang menonjol dan memiliki rekam jejak baik di Polri,” ujar Priyo.
Priyo enggan menilai secara perinci mengenai empat nama calon Kapolri tersebut. Namun, bila melihat tantangan tahun politik 2014 mendatang, Priyo menyatakan bahwa figur Kapolri mendatang mesti profesional dan tak melakukan keberpihakan politik ke salah satu partai tertentu. “Polisi yang profesional tidak melibatkan bendera politik,” katanya. n dyah ratna meta novia ed: abdullah sammy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.