REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) optimistis dapat menyelesaikan 60 persen dari 10,4 juta daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah. Namun, KPU mengakui sulit memperbaiki 40 persen DPT bermasalah dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak valid.
Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, 40 persen NIK bermasalah tersebut sulit diperbaiki, antara lain, karena KPU sulit mendapatkan NIK pemilih yang berada di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan (rutan). Hal itu lantaran pemilih di rutan tidak membawa dokumen kependudukan dan manajemen rutan tidak mampu memberikan informasi NIK saat dilakukan verifikasi. “Jumlah pemilih di rutan diperkirakan 5 hingga 7 persen dari pemilih dengan NIK tidak valid,” kata Husni dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR, Senin (2/12).
Selain itu, lanjut Husni, banyak pemilih pemula yang belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Misalnya, pelajar di pesantren, asrama mahasiswa, maupun seminar di luar kota. Masalah selanjutnya, kata Husni, KPU menemukan cukup banyak pemilih yang tidak memiliki identitas kependudukan. Mereka tidak punya identitas sama sekali, baik KTP maupun KK (kartu keluarga).
Husni menambahkan, KPU juga kesulitan menemukan pemilih dengan NIK invalid di alamat sesuai domisili yang tercantum di KTP/KK karena tingginya mobilitas penduduk. Meski sulit untuk diperbaiki, menurut Husni, hampir 40 persen pemilih dengan NIK invalid itu telah dibuatkan berita acaranya.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan meminta KPU menunda penetapan hasil perbaikan DPT pada Rabu (4/12). Ketua Tim Pengkajian dan Pengawasan DPT Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan, hasil verifikasi di lapangan yang dilakukan PDI Perjuangan menunjukkan pemilih yang dinyatakan NIK-nya bermasalah oleh KPU cenderung fiktif. Menurutnya, KPU perlu kembali mengecek ke lapangan jika KPU berkeyakinan 60 persen dari 10, juta pemilih yang dinyatakan NIK-nya tak valid sudah terkoreksi.
"Kami belum sampai pada tingkat akumulasi semua data. Tapi, dari pergerakan sementara dari DPT bermasalah, kurang lebih sekitar 20 persen itu fiktif," kata Arif yang juga menjabat wakil ketua Komisi II DPR.
Arif mencontohkan hasil temuan PDI Perjuangan di DKI Jakarta setelah dilakukan pengecekan ditemukan 15.030 pemilih fiktif dari total 81.009 DPT yang dinyatakan bermasalah. "Pemilih yang kami nilai fiktif itu sudah kami konfirmasi pada RT/RW, kelurahan, dan tetangga sekitar. Mereka memang tidak ada dan tidak ada yang kenal," ujarnya.
Secara umum, menurut Arif, masalah DPT sebenarnya tidak hanya tersangkut pada 10,4 juta DPT yang dinyatakan bermasalah oleh KPU. Namun, dari 186.165.884 DPT yang telah ditetapkan KPU, masih menyisakan banyak persoalan secara merata di 34 provinsi.
Menurut Arif, PDI Perjuangan mencatat sebanyak 47.322.266 DPT masih bermasalah. "Karena itu, kami ingatkan KPU untuk tidak ambil kesimpulan sembrono yang menyebut sekian banyak DPT bermasalah diyakini semua ada pemilihnya," kata Arif.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad, mengatakan, menjelang berakhirnya masa DPT berakhir pada 4 Desember, Bawaslu masih menemukan persoalan data pemilih yang belum dituntaskan. Di antaranya, ditemukan beberapa potensi yang bisa menjadi permasalahan validitas dan akurasi DPT.
Bawaslu juga mengharapkan KPU berikan perhatian serius terhadap KPU kabupaten/kota yang belum melakukan penetapan berita acara perbaikan DPT hingga 30 November 2013 karena telah berakhirnya masa tugas. n ira sasmita ed: muhammad fakhruddin
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.